Monetisasi TikTok di Indonesia dan Isu Keamanan Digital

Monetisasi TikTok di Indonesia dan Isu Keamanan Digital

Pemblokiran pada tahun 2018 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) karena dugaan memproduksi konten negatif yang berbahaya untuk pengguna di bawah umur tidak membuat perusahaan teknologi China TikTok hengkang dari Indonesia. Faktanya, saat ini setengah dari 360 juta pengguna Tiktok di Asia Tenggara berada di Indonesia.

Di China sendiri, Tiktok memiliki setidaknya 600 juta daily active users (DAU), menyaingi e-commerce raksasa semacam Alibaba dan JD.com. Angka ini dinilai sangat fantastis untuk platform yang baru diluncurkan pada 2016. Menurut data dari Digital Indonesia pada tahun 2021, penetrasi internet di Indonesia mencapai 73%. Sejalan dengan itu, pengguna media sosial juga meningkat sebanyak 6% atau total menjadi 170 juta jiwa, dengan TikTok sebagai salah satu media sosial yang paling sering digunakan. Di Indonesia, Tiktok sudah diunduh sebanyak 30,7 juta kali. Para pengguna platform video pendek tersebut menghabiskan waktu rata-rata 29 menit dan menonton 100 video per hari.

Pencapaian ini tidak terlepas dari keberhasilan strategi TikTok yang menawarkan penggunanya untuk mencari informasi, menonton video bersifat humor, atau sekadar mengikuti tantangan. Situasi pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk berada di rumah juga merupakan faktor pendukung banyaknya pengguna baru TikTok yang memanfatkan platform tersebut untuk berdagang atau sekadar menghilangkan rasa bosan dengan mendemonstrasikan hobi menari atau memasak. Kedua contoh tersebut adalah dampak makro dan mikro dari platform TikTok seperti yang terungkap dalam penelitian  Ghauri, Fu, dan Minayora, “Digital Technology-Based Entrepreneurial Pursuit of the Marginalized Communities,” yang dipublikasikan di Journal of International Management pada tahun 2022.

sumber : firstmedia.com

Di Indonesia sendiri, aplikasi belanja online banyak digunakan, baik oleh penjual perorangan maupun perusahaan besar, seperti Coca-cola, Unilever, dan Sogo department store. Fitur utama Tiktok, yaitu Tiktok for Business, menawarkan jalur yang bermanfaat bagi pelaku usaha skala mikro ataupun makro untuk mempromosikan produk dan jasa mereka. Keunikan dari fitur penjualan lewat aplikasi TikTok ini adalah penjual tidak hanya melakukan promosi satu arah tetapi penjual juga dapat berinteraksi dengan calon pembeli. Pergeseran strategi ini juga dikenal sebagai product-centric to human-centric strategy, dan pernah dikemukakan oleh Haenlein dan kawan-kawan dalam sebuah tulisan yang terbit di California Management Review pada 2020 yang lalu. Keunggulan strategi human-centric dalam mendukung bisnis berskala mikro juga diungkapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia.

Dengan maraknya penggunaan TikTok di Indonesia, sudah seharusnya pemerintah melakukan pengawasan dan mengambil peranan aktif dalam meregulasi platform digital, serta mengimplementasikan kebijakan nasional. Seperti dikemukakan oleh mantan CEO Google Eric Schmidt, internet adalah “kawasan tanpa peraturan terbesar yang ada di dunia.” Perusahaan digital, seperti TikTok, tentunya diuntungkan dengan keterbukaan internet. Namun sayangnya, tidak semua pemerintah–terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia–siap untuk mengatasi isu-isu seperti literasi digital, sensor, perlindungan data domestik, keamanan nasional, dan geopolitik.

Yang perlu dipahami adalah adanya kemungkinan ekspolitasi informasi pribadi yang diambil oleh TikTok secara otomatis. Selain informasi tentang pengguna platform dan layanan dari pihak ketiga (third-party service), seperti transaksi jual beli, TikTok juga merekam secara otomatis informasi penggunaan gawai (device), data lokasi, pesan terkirim, metadata, dan cookies. Meskipun hingga saat ini belum ada bukti transfer data dari Tiktok kepada pemerintah China, semestinya pemerintah Indonesia tetap waspada. Pasalnya, menurut Undang-undang Keamanan Siber China tahun 2017,  Pemerintah China dapat meminta informasi dari semua perusahaan yang beroperasi di China. Bila kekhawatiran di atas benar-benar terjadinya, tentu saja ada potensi resiko terhadap keamanan nasional.

Ada baiknya pemerintah Indonesia mulai memikirkan pemberlakuan batasan kepada perusahaan platform digital asing dengan pertimbangan: akankah TikTok memenangkan kompetisi platform digital asing di pasar Indonesia? Jika demikian, apa yang akan TitkTok lakukan dengan dominasi pasar di Indonesia? Akankah dominasi ini mempengaruhi proses sensor dan pengawasan di Indonesia? Sejauh manakah pemerintah China dapat mengakses keamanan data nasional?.

Beberapa pertanyaan itu menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam membangun kebijakan digital. Kebijakan pemerintah yang meyuluruh dalam pengembangan teknologi digital platform domestik maupun asing tentunya memerlukan pendekatan mutidisiplin. Mungkin sudah saatnya pemerintah bekerja sama dengan akademisi dan sektor swasta untuk bersama-sama merumuskan kebijakan dan strategi dalam bidang teknologi dan keamanan digital.

Amore Minayora adalah peneliti dan pengajar senior dalam Bisnis Internasional di University of the West of England, Inggris.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *