Hong Kong: “Satu Negara Dua Sistem” Menjelang 2047

Hong Kong: “Satu Negara Dua Sistem” Menjelang 2047

Tahun 2022, Hong Kong yang merupakan salah satu daerah paling kompetitif di dunia telah 25 tahun kembali ke kedaulatan Tiongkok dari Inggris. Dalam pidato pada perayaan kembalinya Hong Kong ke Tiongkok pada 1 Juli 2022 Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan bahwa:

“Pemerintah Pusat (Beijing – penulis) mendukung sepenuhnya Hong Kong dalam mempertahankan status dan kekuatan uniknya dalam jangka waktu yang panjang untuk mengkonsolidasikan perannya sebagai pusat finansial, pelayaran, dan perdagangan dunia, untuk mempertahankan lingkungan bisnisnya yang bebas, terbuka, dan sehat, untuk mempertahankan sistem hukumnya, serta untuk memperluas hubungan dengan belahan dunia lain dengan lancar dan mudah”.

Penegasan Xi Jinping yang diberitakan antara lain oleh the South China Morning Post itu sangat menarik untuk diamati, mengingat hal itu dikeluarkan setelah 25 tahun pengembalian Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok, atau setengah perjalanan menuju 50 tahun usia kembalinya Hong Kong pada 2047. Tahun 2047 merupakan tahun yang sangat krusial karena pada tahun itu sistem dan kebijakan sosialis ala Tiongkok akan diberlakukan di Hong Kong. Merujuk pada pasal 5 Basic Law atau “konstitusi mini” Hong Kong, sistem dan kebijakan sosialis tidak akan diterapkan di Daerah Administrasi Khusus (Special Administrative Region atau SAR) Hong Kong hingga tahun tersebut di atas. Sebaliknya, hingga saat ini, Tiongkok memberlakukan prinsip “Satu Negara, Dua System” (One Country, Two Systems) bagi Hong Kong. Berdasarkan sistem ini, Hong Kong merupakan bagian kedaulatan Tiongkok dengan status Daerah Administrasi Khusus yang memiliki lembaga eksekutif, serta sistem hukum perundangan, peradilan, ekonomi, dan otoritas moneter yang otonom dari Tiongkok. Dengan demikian, sistem kapitalis maupun pandangan hidup yang telah ada sebelumnya tidak akan berubah selama periode 50 tahun setelah pengembalian pada tahun 1997 lalu. Oleh karena itu, pernyataan Xi Jinping tentang “mendukung sepenuhnya Hong Kong dalam mempertahankan status dan kekuatan uniknya dalam jangka waktu yang panjang” dapat menimbulkan pertanyaan: apakah Tiongkok akan membiarkan Hong Kong berada dalam statusnya seperti saat ini hingga setelah 2047?

Sumber Foto : liputan6.com

Tiongkok sendiri kerap diduga sedang memperkuat cengkeramannya atas Hong Kong. Pada tahun 2019 wilayah itu diguncang aksi demonstrasi besar-besaran menyusul  pembahasan  Rancangan  Undang   Undang   (RUU)   Ekstradisi   yang  memungkinkan Hong Kong melakukan ekstradisi tahanan ke Tiongkok. RUU itu akhirnya dicabut oleh pemerintah dan parlemen Hong Kong pada September dan Oktober 2019. Selanjutnya, pada tahun 2020, Beijing memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional bagi Hong Kong yang memberikan ancaman hukuman penjara seumur hidup bagi tindakan pemisahan dari Tiongkok, subversi, terrorisme, serta berkolusi dengan negara asing atau unsur dari luar sehingga membahayakan keamanan nasional. Di tahun berikutnya, Kongres Rakyat Tiongkok menetapkan sistem pemilihan umum baru di Hong Kong untuk memastikan bahwa pemerintahan daerah administrasi khusus itu diduduki oleh para “patriot”.

Pada tataran tertentu, rangkaian kejadian tersebut menunjukkan upaya Tiongkok untuk memperkuat gripnya atas Hong Kong. Dengan kata lain, berbagai hal itu ditafsirkan sebagai ancang-ancang untuk menanggalkan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem.”

Akan tetapi, pidato Xi Jinping di atas dapat mendorong asumsi sebaliknya, yaitu bahwa Tiongkok memiliki kepentingan untuk mempertahankan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem” di Hong Kong. Asumsi ini sangat masuk akal mengingat Hong Kong adalah pelabuhan bebas, di mana barang ekspor maupun impor melalui wilayah itu tidak dikenakan tarif. Menurut laporan tahunan Fraser Institute’s Economic Freedom of the World, Hong Kong merupakan wilayah dengan perekonomian paling bebas di dunia pada tahun 2021.

Sumber Foto : coindesk.com

Pada tahun 2021, Hong Kong sendiri merupakan pasar ekspor Tiongkok terbesar kedua di dunia senilai 351,1 miliar dollar AS atau 10,4% dari total ekspor Tiongkok. Dalam hal re-ekspor, sekitar 53% barang re-ekspor Hong Kong berasal dari Tiongkok. Sementara itu, 10,1% ekspor dan 14,3% impor Tiongkok dilakukan melalui Hong Kong dengan nilai masing-masing 263 miliar dollar AS dan 295 dollar AS. Menurut laporan Natixis dari kompilasi data Hong Kong Monetary Authority yang dikutip Reuters (29/5/2020), aset yang dikuasai oleh bank-bank Tiongkok di Hong Kong pada 2019 mencapai 1,1 triliun dollar AS; jauh lebih besar dibanding aset yang dimiliki bank-bank asal Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Sementara itu, Reuters (5/9/2019) juga melaporkan bahwa pada 2018, perusahaan-perusahaan Tiongkok meraup 64,2 miliar dollar AS melalui initial public offerings (IPO) di seluruh dunia. Dari total jumlah itu, 35 miliar dollar AS didulang dari IPO di bursa Hong Kong, sedangkan modal yang diraih melalui dua bursa di Tiongkok, yaitu bursa Shanghai dan Shenzhen “hanya” mencapai 19,7 miliar dollar AS.

Kondisi di atas memperlihatkan posisi vital Hong Kong bagi Tiongkok. Namun, berbagai keistimewaan itu akan sirna jika Hong Kong kehilangan statusnya sebagai daerah “bebas” di bawah prinsip “Satu Negara, Dua Sistem.” Oleh karenanya, sangat masuk akal bila kita menduga bahwa tindakan yang akan dilanjutkan Tiongkok terhadap Hong Kong mungkin memiliki pola yang sama dengan kebijakan dalam negeri Tiongkok pasca-program “Reformasi dan Keterbukaan” (gaige kaifang) tahun 1978. Setelah reformasi, Tiongkok mengizinkan praktik ekonomi pasar sehingga perekonomian Tiongkok berkembang pesat hingga kini. Akan tetapi, dalam hal politik, Tiongkok tidak memberi ruang terhadap upaya untuk menggeser kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT). 

Pola serupa nampaknya akan diterapkan pula bagi Hong Kong. Dengan tetap mempertahankan kerangka “Satu Negara, Dua Sistem,” Tiongkok tetap membiarkan pasar dan perekonomian Hong Kong berjalan bebas. Tetapi secara bertahap Tiongkok akan memperkuat kontrol dalam bidang politik di daerah administrasi khusus itu. Akan tetapi, seperti apa persisnya Hong Kong setelah tahun 2047, hanya waktu yang akan menjawabnya.

Muhammad Farid, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden dan sekretaris Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *