Krisis Ketenagakerjaan di Tiongkok: Perlambatan Ekonomi atau Pergeseran Paradigma Kaum Muda?

Krisis Ketenagakerjaan di Tiongkok: Perlambatan Ekonomi atau Pergeseran Paradigma Kaum Muda?

Orang-orang beristirahat di barikade batu di jalan, menyusul wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Shanghai, China, 9 September 2022. Foto: REUTERS/Aly Song
Orang-orang beristirahat di barikade batu di jalan, menyusul wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Shanghai, China, 9 September 2022. Foto: REUTERS/Aly Song

Dewasa ini Tiongkok sedang menghadapi masalah baru di sektor ketenagakerjaan. Seperti dilaporkan oleh David Kirton, jurnalis Reuters,1 pabrik-pabrik manufaktur di negara tersebut terancam kekurangan pekerja di masa depan. Fenomena ini terjadi akibat kaum muda, khususnya di daerah pedesaan dan pedalaman Tiongkok, cenderung memikirkan profesi lain di luar pabrik karena menganggap pendapatan yang diperoleh dari bekerja di pabrik tidak sepadan dengan jam kerja dan tenaga yang harus dikeluarkan. Berbeda dengan generasi orang tua mereka—yang pada masanya tak ragu untuk meninggalkan keluarga dan anak-anak di kampung halaman demi menjadi buruh pabrik di kota-kota besar pusat industri Tiongkok—generasi muda Tiongkok masa kini justru menilai pilihan profesi orang tua mereka hanyalah sekadar cara untuk keluar dari kemiskinan.

Di sisi lain, justru terdapat banyak kaum muda di kota-kota besar Tiongkok–-umumnya berpendidikan tinggi—yang kesulitan mendapatkan pekerjaan impian mereka. Mengacu pada laporan Biro Statistik Nasional Tiongkok, wartawan CNN, Laura He, memberitakan bahwa tingkat pengangguran kaum muda di wilayah urban di Tiongkok terus mengalami tren kenaikan. Menurutnya, hingga Agustus 2022, tercatat sekitar 20 juta orang berusia 16 hingga 24 tahun di perkotaan Tiongkok menganggur.2 Seperti diwartakan oleh SCMP, tren ini masih terus berlanjut di akhir tahun 2022. Menurut catatan mereka, angka pengangguran kaum muda pada Desember 2022 masih berada di angka 16,7% secara umum dan 5,5% di kawasan urban. Oleh karenanya, ketika pemerintah Tiongkok mulai memperbolehkan ajang bursa kerja (job fair) secara tatap muka pada awal tahun 2023—setelah tiga tahun belakangan dihelat secara daring (online)—banyak pencari kerja dari beragam latar belakang yang turut berpartisipasi.3 Fenomena tersebut merupakan sebuah paradoks yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Apakah fenomena ini semata-mata dipengaruhi proyeksi perlambatan ekonomi? Mungkinkah ini merupakan akibat dari faktor-faktor lain yang membayangi kondisi sosial ekonomi Tiongkok? Lalu bagaimana pemerintah Tiongkok merespons terjadinya masalah ini? Strategi apakah yang diterapkan oleh pemerintah Tiongkok untuk mencegah masalah ini menjadi lebih parah? Artikel singkat ini akan mengulas jawaban atas serangkaian pertanyaan di atas.

Kekurangan Tenaga Kerja Industri Manufaktur

Masih menurut laporan Kirton di atas, kementerian pendidikan Tiongkok memperkirakan pada tahun 2025 industri manufaktur di negara tersebut akan mengalami kekurangan 30 juta pekerja. Sedangkan berdasarkan survey yang dilakukan perusahaan konsultan Tiongkok CIIC yang juga dirujuk oleh Kirton, pada tahun 2022 sebanyak lebih dari 80% pabrikan Tiongkok menghadapi kekurangan tenaga kerja mulai dari ratusan hingga ribuan orang. Jumlah di atas setara dengan 10% hingga 30% tenaga kerja yang mereka butuhkan. Kedua hal tersebut mengindikasikan keengganan kaum muda Tiongkok untuk bekerja di sektor manufaktur sehingga kini pabrikan di sana didominasi oleh generasi tua. Kecenderungan ini tentu saja berdampak buruk bagi produktivitas kerja. Dalam laporan di atas, Kirton mewawancarai Klaus Zenkel, seorang pengusaha alat kesehatan sekaligus Ketua Kamar Dagang Eropa di Tiongkok Selatan. Menurut sang pengusaha, pertumbuhan ekonomi Tiongkok beberapa tahun terakhir telah mengubah aspirasi generasi muda terhadap industri manufaktur. Ia menuturkan, sebagian besar pekerja di pabriknya sudah berusia 50—60 tahun, dan ia mengalami kesulitan untuk merekrut pekerja yang lebih muda karena kaum muda merasa beban dan tuntutan kerja di pabrik manufaktur tidak sebanding dengan upah yang ditawarkan.

Orang-orang berdiri di luar agensi mengiklankan lowongan pekerjaan pabrik di pusat perekrutan pabrik utama Shenzhen di distrik Longhua, provinsi Guangdong, Tiongkok 20 Oktober 2022. Foto: REUTERS/David Kirton

Dalam pandangan jurnalis Reuters di atas, para pengusaha manufaktur sebenarnya memiliki tiga opsi untuk mengatasi masalah yang sedang timbul itu. Opsi pertama adalah mengorbankan margin keuntungan demi menaikkan gaji buruh; opsi kedua adalah berinvestasi pada teknologi otomatisasi; sedangkan opsi ketiga adalah mengalihkan lini produksi ke lokasi yang lebih menjanjikan, seperti India dan Vietnam. Kirton berargumen bahwa pemangku kebijakan di Tiongkok lebih cenderung menyarankan para pengusaha untuk mengambil pilihan kedua. Ini terlihat dari masifnya investasi teknologi di pabrik-pabrik di Tiongkok sehingga pada 2022 negeri itu menyumbang setengah dari total instalasi robotik baru secara global. Angka tersebut mengalami kenaikan 44% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, opsi kedua tersebut bukannya tanpa tantangan. Pasalnya, mencari pekerja usia muda yang melek teknologi dengan bayaran sesuai kemampuan perusahaan bukanlah perkara yang gampang. Akibatnya, sekalipun pabrik dilengkapi dengan peralatan berteknologi canggih, para pekerja yang didominasi usia tua akan mengalami kesulitan mengoperasikan mesin-mesin itu, dan akhirnya malah berdampak negatif pada produktivitas.

Akar Permasalahan Krisis Tenaga Kerja Manufaktur

Lalu di mana sebenarnya akar permasalahan dari krisis tenaga kerja manufaktur yang sedang mencuat ini? David Kirton berpandangan bahwa permasalahan di atas dapat dipahami dalam dua perspektif, yaitu perspektif kebijakan pemerintah dan perspektif sosial kemasyarakatan. Pada tataran kebijakan, daya saing sektor manufaktur Tiongkok yang berorientasi ekspor selama beberapa dasawarsa belakangan ini sebenarnya merupakan hasil dari kebijakan yang saling berkaitan: investasi yang disubsidi negara dalam kapasitas produksi dan upah tenaga kerja yang murah. Pada satu sisi, kebijakan investasi yang disubsidi perlu untuk terus dikaji oleh pemerintah Tiongkok mengingat masih terdapat sektor lain yang lebih mendesak dan perlu dipertimbangkan, seperti pendidikan dan kesejahteraan sosial, serta taraf hidup yang terus meningkat di negara itu. Di sisi lain, pada tataran sosial, generasi muda Tiongkok tampaknya mulai memiliki aspirasi yang berbeda dengan generasi orang tua mereka. Bagi mereka, profesi buruh manufaktur dengan gaji rendah, meski dikompensasi dengan benefit akomodasi dan konsumsi dari pabrik, sudah tak lagi memiliki daya tarik.

Lulusan Baru Perguruan Tinggi Sulit Mendapatkan Pekerjaan

Maraknya problem kekurangan tenaga kerja pada industri manufaktur di atas merupakan sebuah fenomena yang ironis karena persoalan tersebut terjadi ketika kaum muda Tiongkok di perkotaan justru sedang dilanda keresahan karena kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan impian mereka. Salah satu hal yang ditengarai menjadi penyebabnya adalah kehati-hatian perusahaan teknologi—tujuan favorit para lulusan baru untuk memulai karier—dalam melakukan ekspansi, termasuk membuka lowongan kerja untuk lulusan baru (fresh graduate). Hal ini terjadi karena beberapa tahun belakangan sektor tersebut harus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal, yaitu kontrol pemerintah yang semakin ketat terhadap perusahaan swasta, khususnya yang bergerak di bidang teknologi informasi,4 dan sanksi dagang Amerika Serikat (AS) yang masih menghalangi para raksasa teknologi Tiongkok untuk melebarkan sayapnya di pasar global.5 Penyedia layanan bimbingan belajar dan tutor privat adalah sektor lain yang mengalami “pukulan telak.” Sektor yang banyak mempekerjakan lulusan baru universitas di kota-kota besar itu “terpukul” akibat larangan terhadap lembaga tutor privat swasta yang diberlakukan pemerintah Tiongkok pada Juli 2021.6 Setahun setelah kebijakan itu dijalankan, salah satu lembaga bimbingan belajar terbesar di Tiongkok mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 60 ribu karyawan mereka. Kondisi tersebut diperparah oleh kebijakan nol Covid yang diterapkan pemerintah Tiongkok dengan mengandalkan pengucian wilayah (lockdown) dan tes massal sepanjang tahun lalu, dan baru dihentikan akhir Oktober 2022.

Penuturan Jenny Bai, seorang lulusan terbaik program ilmu komputer dari seluruh Tiongkok mengilustrasikan betapa gentingnya situasi ekonomi Tiongkok akibat faktor-faktor di atas. Kepada koresponden Reuters yang bertugas di Beijing, Martin Pollard, Bai menuturkan bagaimana ia mendapatkan tawaran pekerjaan dari sebuah firma teknologi informasi terkemuka di Beijing pada musim panas tahun lalu. Sayangnya, perusahaan tersebut tiba-tiba mengumumkan pembatalan perekrutan karyawan baru dengan alasan pandemi Covid dan proyeksi perlambatan ekonomi.7 Tentu saja, Bai bukan satu-satunya kaum terdidik muda yang harus berjuang di tengah krisis ekonomi yang sedang berkembang di Tiongkok itu. Dalam catatan Pollard, terdapat lebih dari 10 juta lulusan baru perguruan tinggi pada Juni 2022 yang harus memasuki pasar tenaga kerja dalam kondisi perekonomian Tiongkok yang sedang melemah. Beratnya tantangan yang dihadapi oleh generasi muda Tiongkok itu terlihat juga dalam wawancara Martin Pollard dengan seorang manajer sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia. Sang manajer bahkan memperkiraan bahwa pembukaan lowongan pekerjaan untuk level pemula (entry level) pada tahun 2022 turun 20–30% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurutnya, angka penurunan ini bahkan lebih buruk daripada ketika krisis finansial global melanda dunia pada 2008.

Kaum muda di kawasan urban Tiongkok memiliki respons beragam terhadap tren berkurangnya lapangan kerja untuk mereka. Sebagian memilih kembali ke sekolah untuk melanjutkan studi mereka. Pada tahun 2022 saja, tercatat 4,6 juta orang yang mendaftar program pascasarjana di seluruh Tiongkok.8 Di sisi lain, sebagian lagi justru memilih menjadi “kaum rebahan” (躺平族 tǎng píng zú)9 dan “membiarkan segalanya membusuk” (摆烂 bǎi làn)10, sebagai antitesis tekanan masyarakat untuk segera mencari pekerjaan setelah lulus kuliah dan mengikuti ritme kerja “996” (dari jam 9 pagi sampai 9 malam selama 6 hari dalam seminggu) yang lazim diberlakukan dalam dunia kerja Tiongkok.11

Pemuda Tionghoa di Beijing. Foto: Roman Pilipey/EPA

Respons Pemerintah Tiongkok untuk Mengatasi Krisis Ketenagakerjaan

Masalah krisis ketenagakerjaan ini tampaknya telah sampai pula ke telinga para pejabat tinggi pemerintah Tiongkok. Bahkan, Perdana Menteri Li Keqiang pada Mei 2022 dalam telekonferensi dengan pejabat pemerintah daerah sudah memperingatkan perihal proyeksi lapangan kerja yang rumit dan suram. Untuk itu, ia meminta pemerintah daerah untuk berfokus pada upaya menciptakan kestabilan di sektor ketenagakerjaan.12 Pada kesempatan yang lain, ketika memimpin rapat eksekutif Dewan Negara, Juli 2022, Li Keqiang menekankan kembali keseriusan pemerintah Tiongkok untuk menangani masalah ketenagakerjaan, khususnya pada kelompok kunci, yaitu lulusan perguruan tinggi dan buruh migran dari wilayah pedesaan.13 Berbagai kebijakan sudah disiapkan, seperti insentif untuk perusahaan yang tidak melakukan PHK dan pinjaman lunak untuk lulusan perguruan tinggi yang ingin memulai bisnis sendiri. Di samping itu, dalam rapat tersebut juga terkuak fakta bahwa lebih dari 200 juta orang di Tiongkok bekerja secara “fleksibel,” sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada fenomena bekerja paruh waktu. Li menyatakan bahwa demi membantu kelompok pekerja sektor tersebut, pemerintah Tiongkok akan mempermudah akses mereka terhadap dana pensiun dan asuransi kesehatan.

Namun, apakah serangkaian kebijakan tersebut dapat segera mengatasi krisis ketenagakerjaan di Tiongkok? Menurut para analis, masalah utama saat ini adalah ketidaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan penawaran dalam pasar ketenagakerjaan. Profesor keuangan pada University of Hong Kong, Chen Zhiwu, memperkirakan kekuatan pasar pada akhirnya akan mengendalikan aspirasi, baik dari sisi pengusaha maupun pencari kerja. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa situasi pengangguran kaum muda ini dapat bergerak ke arah yang lebih buruk sebelum masalah mismatch tadi dapat diperbaiki. Lebih lanjut lagi, kebijakan yang sudah dilancarkan oleh pemerintah Tiongkok masih bertumpu pada sisi ekonomi. Padahal berdasarkan penggambaran yang telah disampaikan di atas, terlihat adanya perubahan aspirasi generasi muda dari berbagai lapisan masyarakat. Tentunya, faktor sosial kemasyarakatan ini penting untuk diperhatikan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan untuk mengatasi krisis ketenagakerjaan. Jika tidak terkendali dengan baik, menurut analisis jurnalis Reuters, Yawen Chen, krisis ini berisiko menjadi lingkaran setan di mana turunnya upah riil semakin menghambat konsumsi domestik yang akibatnya juga akan mengurangi investasi dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini pada gilirannya akan semakin membebani keuangan pemerintah yang sudah terkontraksi. Atau malah lebih buruk lagi, krisis ini bahkan berpotensi menghadirkan mimpi buruk bagi Partai Komunis Tiongkok: ketidakstabilan sosial akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang cukup bagi orang-orang yang menganggur.14


Source:

  1. https://www.reuters.com/world/china/younger-chinese-are-spurning-factory-jobs-that-power-economy-2022-11-21/
  2. https://www.cnn.com/2022/09/19/economy/china-youth-jobs-crisis-xi-jinping-intl-hnk-mic
  3. https://www.scmp.com/economy/economic-indicators/article/3210802/china-jobs-employers-are-thrifty-and-applicants-timid-job-fairs-make-comeback
  4. https://www.cnn.com/2021/11/02/tech/china-economy-crackdown-private-companies-intl-hnk
  5. https://www.cnn.com/2021/11/25/tech/us-chinese-companies-trade-blacklist-intl-hnk
  6. https://www.scmp.com/tech/policy/article/3186924/year-after-chinas-private-tutoring-crackdown-classes-have-moved
  7. https://www.reuters.com/world/china/record-numbers-chinese-graduates-enter-worst-job-market-decades-2022-06-23/
  8. https://www.economist.com/china/2022/05/26/many-young-chinese-choose-graduate-school-over-a-grim-job-market
  9. https://www.bbc.com/news/world-asia-china-57348406
  10. https://www.theguardian.com/world/2022/may/26/the-rise-of-bai-lan-why-chinas-frustrated-youth-are-ready-to-let-it-rot
  11. https://www.scmp.com/comment/letters/article/3154115/chinas-996-work-culture-labour-exploitation-another-name
  12. https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/3176960/chinese-premier-orders-more-action-job-stability-lead
  13. https://english.www.gov.cn/premier/news/202207/14/content_WS62cef248c6d02e533532db65.html
  14. https://www.reuters.com/breakingviews/this-chinese-jobs-crisis-could-be-its-worst-2022-06-20/


Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *