Menelisik Hubungan Segitiga China, Iran, dan Arab Saudi

Menelisik Hubungan Segitiga China, Iran, dan Arab Saudi

Seorang pria di Teheran memegang surat kabar lokal yang melaporkan kesepakatan yang ditengahi China antara Iran dan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan pada 11 Maret 2023. Sumber : Atta Kenare | Afp | Getty Image
Seorang pria di Teheran memegang surat kabar lokal yang melaporkan kesepakatan yang ditengahi China antara Iran dan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan pada 11 Maret 2023. Sumber : Atta Kenare | Afp | Getty Image

Dalam kurun Maret—April 2023, wilayah Timur Tengah menjadi sorotan karena hubungan segitiga antara dua kekuatan di wilayah itu, Arab Saudi dan Iran, serta China. Pasalnya, Arab Saudi dan Iran akan segera membuka kembali hubungan diplomatik kedua negara, dengan China sebagai juru damainya. Pada 10 Maret 2023, di ibukota China, Beijing, Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Putera Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, dengan disaksikan Presiden China Xi Jinping, mencapai kesepakatan untuk memulihkan hubungan diplomatik yang telah putus sejak Januari 2016.

Pemutusan hubungan diplomatik Iran—Saudi Arabia dipicu oleh hukuman mati terhadap ulama Syiah Arab Saudi Syekh Nimr al-Nimr dengan tuduhan keterlibatan dalam terorisme. Eksekusi terhadap Syekh Nimr al-Nimr memicu kemarahan Iran yang merupakan negara teokrasi berlandaskan Syiah. Menyusul kejadian itu, massa menggelar demonstrasi di ibukota Iran, Teheran, dan menyerbu Kedutaan Besar Arab Saudi sehingga berujung pada putusnya hubungan antara dua negara.

Relasi Riyadh dan Teheran mengalami pasang surut sejak Revolusi Islam yang menggulingkan Mohammad Reza Pahlavi atau Shah (Raja) Iran pada tahun 1979. Saat itu, ide “ekspor revolusi” ala Iran menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kejadian serupa di negara-negara Arab, terutama di negara-negara monarki seperti Arab Saudi. Kedua negara kemudian terlibat di berbagai rivalitas geopolitik di kawasan Timur Tengah, termasuk dalam urusan membela dua kubu yang berlawanan dalam konflik di Yaman, serta kontestasi proksi di Syria, Lebanon, dan Irak.

Sebenarnya, upaya pemulihan hubungan diplomatik Arab Saudi—Iran telah berlangsung beberapa putaran sebelumnya, termasuk pertemuan yang disponsori oleh negara-negara Arab seperti Irak dan Oman. Akan tetapi, perbincangan tentang proses-proses yang telah dilakukan sebelumnya relatif tidak memiliki magnitude sebesar pertemuan Ebrahim Raisi—Mohammed bin Salman di Beijing pada 10 Maret 2023.

Pada tataran tertentu, hal itu disebabkan oleh keberadaan Amerika Serikat (AS) sebagai sekutu utama Arab Saudi, sekaligus “musuh” Iran; sehingga masuknya China di antara Iran dan Arab Saudi oleh sebagian kalangan dibaca sebagai kemajuan langkah China untuk menggeser pengaruh dan posisi signifikan AS di Timur Tengah. Dengan kata lain, langkah China dipandang sebagai keberhasilan diplomasi, serta keberhasilan untuk memberi alternatif bagi “the US-led global leader”.

Senada dengan pendapat itu, senior fellow pada the Carnegie Endowment for International Peace Aaron David Miller mengatakan bahwa perkembangan akhir-akhir ini menjadi sinyal bahwa pengaruh dan kredibiltas AS di Timur Tengah telah menurun. Sebaliknya, China menunjukkan pengaruhnya dalam keselarasan kekuatan di level regional maupun internasional.1

Langkah China ini oleh associate fellow pada Instituto Affari Internazionali, Roma Maria Fantappie, serta  Profesor International Affairs and Middle East Studies pada the Johns Hopkins University School of Advanced International Studies, Vali Nasr, dipandang sebagai tantangan geopolitik bagi AS di Timur Tengah. Dengan posisi ini, China dapat semakin mempromosikan kepentingannya dalam sektor energi terhadap Arab Saudi. Selain itu, China dapat mensinergikan salah satu koridor the Belt and Road Initiative (BRI) yang melalui Iran dengan kepentingan Rusia untuk mengembangkan koridor transit di Iran. Pengembangan koridor ini akan memungkinkan Rusia mengakses pasar global tanpa melalui Terusan Suez. Jalur tersebut juga memberi rute alternatif bagi China untuk tidak melewati Selat Malaka, di mana AS dan sekutunya sedang gencar membangun kekuatan armada pertahanan di kawasan itu.2

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping di Riyadh, Arab Saudi, Desember 2022 Foto: Saudi Press Agency / Handout / Reuters

Adapun senior resident scholar pada the Arab Gulf State Institute, Washington DC, Robert Mogielnicki, menggarisbawahi bahwa China dapat memainkan posisinya sebagai mediator antara Arab Saudi dan Iran karena negara itu memiliki suatu hal yang tidak dimiliki AS, yaitu hubungan baik dengan Iran. Peran itu memang menjadi bukti bahwa peran China di Timur Tengah semakin meningkat.3

Akan tetapi, sebagian kalangan menilai bahwa peran China di Timur Tengah akhir-akhir ini tidak dapat serta-merta diterjemahkan sebagai tanda melemahnya pengaruh AS di kawasan tersebut. Al-Saif dari Universitas Kuwait mengatakan bahwa keterlibatan diplomatik negara mana pun, termasuk China, tidak akan mengancam keunggulan AS di Timur Tengah. Sebab, AS dan Arab Saudi telah memiliki kemitraan keamaan hampir selama tiga perempat abad. Dengan kemitraan ini, kebutuhan militer dan persenjataan Arab Saudi didukung penuh oleh AS.4

Hal serupa disampaikan oleh pengajar di Departmen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo. Ia mengatakan bahwa keterlibatan China dalam upaya normalisasi hubungan Iran–Arab Saudi tidak serta-merta dapat diinterpretasikan sebagai pergeseran kekuatan kekuatan di Timur Tengah dari AS ke China karena keamanan Arab Saudi tetap bergantung kepada AS. Selain itu, Broto juga mengemukakan kepentingan ekonomi China di balik perannya sebagai mediator bagi normalisasi hubungan Iran–Arab Saudi. Dalam hal ini, China memiliki kepentingan untuk mendapat akses ke sumber energi, serta perluasan pasar ke Timur Tengah.5 Dengan demikian, manuver China dapat ditafsirkan sebagai langkah yang lebih dilandasi oleh kepentingan ekonomi daripada kepentingan politik.

Secara umum, ada hal penting lain yang perlu didalami dalam konteks hubungan segitiga ini, yaitu kepentingan Arab Saudi dan Iran sendiri. Analisa ini penting dilakukan agar kita tidak terjebak pada suatu asumsi bahwa langkah yang ditempuh oleh Arab Saudi dan Iran adalah semata-mata karena dipengaruhi oleh kontestasi kekuatan global, seperti AS dan China, tanpa melihat Iran dan Arab Saudi sebagai aktor-aktor aktif dan dominan dalam kontestasi geopolitik di Timur Tengah.

Sebagai contoh, normalisasi hubungan Iran dan Arab Saudi sebagai dua kekuatan regional utama di Timur Tengah berpotensi untuk menekan agsresivitas Israel yang gencar meluaskan wilayah permukiman di kantong-kantong wilayah Palestina di Tepi Barat. Selain itu, kedekatan Iran dan Arab Saudi dapat menjadi kekuatan pressure agar Israel tidak melakukan tindak kekerasan di wilayah Mesjid Al Aqsa, di mana sebenarnya Israel telah secara resmi mengakui perwalian Yordania atas situs kota suci umat Islam tersebut.

Beberapa pengamat seperti John B. Alterman (Direktur Program Timur Tengah pada the Center for Strategic and International Studies, Washington, D.C)6, Mordechai Chaziza (senior lecturer in Political Science pada Ashkelon Academic College)7, dan Yasmine Farouk (nonresident scholar in the Middle East Program pada the Carnegie Endowment for International Peace)8 mengungkap kepentingan Iran dalam normalisasi hubungan dengan Arab Saudi, maupun dengan keterlibatan China dalam proses itu. Dalam konteks ini, Iran yang telah mengalami sanksi ekonomi dan isolasi diplomatik yang digaungkan oleh AS membutuhkan hubungan atau kerja sama, terutama dengan negara tetangganya untuk keluar dari tekanan tersebut. Selain itu, menurut Alterman, langkah untuk menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi sejalan dengan prioritas Presiden Ebrahim Raisi saat menjabat tahun 2001 untuk mengurangi ketegangan dengan negara-negara tetangga.

Dari sisi Arab Saudi, Yasmine Farouk melihat bahwa upaya normalisasi hubungan dengan Iran merupakan bagian dari fokus kebijakan luar negeri Saudi yang lebih besar untuk mendukung rencana pembangunan sosial ekonominya, yang dikenal sebagai Visi 2030.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pertemuan Iran dan Arab Saudi di Beijing terjadi setelah beberapa putaran pertemuan di antara keduanya di negara-negara Arab lain, seperti Irak dan Oman. Signifikansi peran Irak dan Oman diakui oleh Iran dan Arab Saudi. Usai pertemuan Ebrahim Raisi dan Mohammed bin Salman di Beijing, Iran dan Arab Saudi mengeluarkan pernyataan gabungan. Salah satu isinya adalah ucapan terima kasih kepada Irak dan Oman yang telah menjadi tuan rumah untuk pembicaraan Iran–Arab Saudi tahun 2021 dan 2022, selain ucapan terima kasih yang sama kepada China.

Tidak hanya dengan Iran, Arab Saudi juga disebut-sebut akan menormalisasi hubungan dengan negara Arab lainnya, yaitu Suriah, usai putusnya hubungan kedua negara tahun 2011, menyusul perang saudara di Suriah. Dalam perang saudara tersebut, Arab Saudi dan sebagian anggota Liga Arab mendukung pihak oposisi yang menentang Presiden Bashar al-Assad.

Dengan demikian, alih-alih memandangnya semata-mata sebagai hasil dari langkah diplomasi China, proses normalisasi hubungan Arab Saudi–Iran justru perlu dipahami lebih luas sebagai dinamika geopolitik kawasan Timur Tengah, di mana negara-negara di kawasan itu yang memiliki inisiatif dan kendali untuk menciptakan konstelasi geopolitik baru di Timur Tengah. Pada konteks ini, negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan China justru perlu menyesuaikan kebijakan mereka dengan agenda yang dibuat negara-negara Timur Tengah.


Source:

  1. https://www.cnbc.com/2023/03/15/does-chinas-role-in-saudi-iran-rapprochement-represent-a-new-order-.html
  2. https://www.foreignaffairs.com/china/iran-saudi-arabia-middle-east-relations?check_logged_in=1&utm_medium=promo_email&utm_source=lo_flows&utm_campaign=registered_user_welcome&utm_term=email_1&utm_content=20230327
  3. https://www.aljazeera.com/news/2023/3/11/changing-global-order-china-restores-ties-with-iran-and-saudi
  4. https://www.cnbc.com/2023/03/15/does-chinas-role-in-saudi-iran-rapprochement-represent-a-new-order-.html
  5. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/17/meletakkan-konteks-normalisasi-saudi-iran
  6. https://www.csis.org/analysis/why-did-china-help-saudi-arabia-and-iran-resume-diplomatic-ties
  7. https://thediplomat.com/2023/03/china-in-iran-saudi-arabia-relations-impact-on-israel/
  8. https://carnegieendowment.org/2023/03/30/riyadh-s-motivations-behind-saudi-iran-deal-pub-89421


Muhammad Farid adalah dosen Hubungan Internasional pada President University dan Sekretaris Forum Sinologi Indonesia;

Callesya Lovely adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *