Koran Bahasa Mandarin di Era Reformasi: Antara Renaisans dan Euforia

Koran Bahasa Mandarin di Era Reformasi: Antara Renaisans dan Euforia

Sumber Foto : https://tirto.id/
Sumber Foto : https://tirto.id/

Dalam dua dasawarsa terakhir ini, publik Indonesia sudah tak asing lagi dengan media berbahasa Mandarin. Bila sepanjang periode pemerintahan Orde Baru hanya terdapat sebuah media cetak berbahasa Mandarin (itu pun berada di bawah pengawasan intelijen negara),  sejak Indonesia memasuki era Reformasi, media cetak dan elektronik berbahasa Mandarin menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat Indonesia. Media berbahasa Mandarin itu mulai muncul dan berkembang sejak Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan itu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sebagai hasilnya, sejak saat itu, tidak ada lagi pembatasan ekspresi keagamaan maupun kebudayaan komunitas Tionghoa di tempat umum, termasuk penerbitan dan penyiaran media berbahasa Mandarin.

Kehadiran media berbahasa Mandarin dalam masyarakat Indonesia seolah melengkapi apa yang disebut oleh Aimee Darwis, akademisi bidang ilmu komunikasi dan media, sebagai Renaisans Kebudayaan Tionghoa di Indonesia.  Dengan hadirnya media berbahasa Mandarin, maka apa yang Profesor Leo Suryadinata sebut sebagai tiga pilar komunitas Tionghoa – yaitu pembelajaran dalam bahasa Mandarin, media berbahasa Mandarin, dan organisasi sosial kemasyarakatan Tionghoa – dapat dikatakan sepenuhnya hidup kembali di bumi Nusantara. Lantas, apakah merebaknya media berbahasa Mandarin ini benar-benar sebuah pertanda Renaisans budaya Tionghoa atau hanya sekadar fenomena instan semata?

Tren Yang Tak Berumur Panjang

Kebangkitan media cetak berbahasa Mandarin setelah Reformasi tampaknya menarik perhatian para peneliti dan pengamat media. Stanley Yosep Adi Prasetyo, aktivis media dan hak asasi manusia, adalah salah satu di antara para pengamat yang tertarik oleh fenomena tersebut. Dalam artikel berjudul “Adakah Media untuk Keturunan Tionghoa?” yang dimuat dalam buku Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, ia menempatkan kemunculan media berbahasa Mandarin dalam arus euforia kebebasan pers selepas era Orde Baru yang penuh represi. Ia mengemukakan bahwa pada akhir tahun 1999 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencapai 1600 media, sebuah peningkatan yang tajam dibandingkan masa Orba yang hanya 180 saja. Namun demikian, seperti layaknya tren sesaat, angka media cetak yang masih terbit di seluruh Indonesia surut menjadi hanya sekitar 800 pada tahun 2008. Pola pasang surut tersebut juga berlaku untuk media cetak berbahasa Mandarin. Berdasarkan catatan Stanley, ada sekitar 10 koran dan tabloid bahasa Mandarin pada masa awal Reformasi. Dari jumlah itu, hanya ada 5 yang masih eksis pada pertengahan tahun 2008.

Kecenderungan pasang surut media cetak berbahasa Mandarin di Indonesia juga diamati oleh Profesor Leo Suryadinata, seorang ahli Tionghoa Indonesia ternama yang saat ini berbasis di ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura. Dalam artikel berjudul “Chinese-Language Newspapers in Indonesia: Declining Readership, Advertisements Revenue and Death of Journalists/Writers,” beliau mengemukakan bahwa pada tahun 2000 terdapat paling sedikit 6 harian berbahasa Mandarin di Jakarta, 2 harian di Surabaya, dan sebuah harian lainnya di Medan. Akan tetapi, menurut beliau, setidaknya 3 dari 9 koran berbahasa Mandarin tersebut berhenti beroperasi kurang dari 3 tahun sejak mereka mulai terbit.

Problem Koran Berbahasa Mandarin

Bagi para penulis di atas, nampaknya  permasalahan utama yang dihadapi surat kabar berbahasa Mandarin adalah keterbatasan pembaca dan pengiklan. Jika dilihat dari segi pembaca, surat kabar bahasa Mandarin harus berebut ceruk pasar dengan segmentasi sempit. Berdasarkan penelitian Aimee Darwis, pelanggan utama koran bahasa Mandarin adalah golongan Tionghoa kelahiran 1940 hingga 1950-an yang masih mengalami pendidikan dalam bahasa Mandarin. Sementara generasi yang lahir dan besar dalam sistem pendidikan Orde Baru umumnya tidak cakap lagi berbahasa Mandarin. Di sisi lain, generasi muda yang lahir setelah Reformasi, meskipun sudah bisa bebas mempelajari bahasa Mandarin, nampaknya tidak memilih bahasa ini sebagai sarana untuk mencari sumber informasi. Hal inilah yang membuat perusahaan pers harus gulung tikar tak lama setelah menerbitkan koran Mandarin.

Namun dalam pandangan Stanley Prasetyo, kualitas jurnalisme yang secara umum semakin menurun semenjak era kebebasan pers pasca-Reformasi turut berkontribusi terhadap trend ketidakmampuan surat kabar berbahasa Mandarin untuk bertahan. Menurutnya, jurnalisme setelah Reformasi lebih condong mempraktikan “jurnalisme omongan” (talking news) dengan benar-benar menerapkan kaidah pers “big name big news, no name no news.” Jurnalisme semacam ini lebih berorientasi pada pengejaran sumber-sumber pejabat tinggi negara dan militer sebagai dasar legitimasi, alih-alih mengumpulkan data dan menggali fakta. Hal ini sangat ia sayangkan. Kehadiran media berbahasa Mandarin sejatinya diharapkan mampu menjadi platform bagi komunitas Tionghoa untuk menyampaikan aspirasi, menampilkan fakta, dan mengusut penyelewengan. Namun pada kenyataanya, media berbahasa Mandarin malah ikut arus dengan tunduk pada logika bisnis semata, yaitu mengorbankan kualitas jurnalisme demi mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya.

Stanley Prasetyo juga mengamati fenomena menarik dalam surat kabar berbahasa Mandarin. Foto yang ditampilkan di sana selalu khas, yaitu ada banyak “foto salon” seperti foto penyerahan hadiah, foto berjabat tangan dengan pejabat penting, atau sesi foto bersama anggota organisasi kemasyarakatan. Menurut pengamatannya, anggota komunitas Tionghoa memang suka tampil di koran. Edisi koran yang memuat tokoh dan pengusaha Tionghoa akan laris diborong oleh yang bersangkutan untuk kemudian dibagikan kepada para kenalan dan relasi bisnis mereka. Model bisnis semacam ini mungkin dapat membantu penerbit surat kabar lewat pemasukan advertorial dari para pengusaha yang ingin kegiatannya dimuat di koran. Namun, bila pembaca tidak menganggap “berita” seperti itu bermanfaat, jumlah pembaca koran pasti akan semakin berkurang.

Selain dari sisi pembaca, Profesor Leo Suryadinata juga mengamati problem besar yang sedang dihadapi koran bahasa Mandarin dari sisi penulis. Menurut pengamatan beliau, jumlah penulis dan wartawan yang fasih menggunakan bahasa Mandarin ragam pers juga semakin terbatas. Di samping itu, setiap koran dimiliki oleh grup media atau pemodal dengan kepentingan bisnis yang berbeda-beda. Jadi, pilihan untuk merger bagi media yang mengalami permasalahan ekonomi supaya dapat bertahan menjadi sangat sulit dilakukan.

Sumber foto : id.quora.com

Koran Berbahasa Mandarin, Tionghoa di Indonesia, dan Migran Baru

Semua permasalahan yang sudah dikemukakan di atas menimbulkan pertanyaan: apa makna fenomena di atas bagi upaya memahami masyarakat Tionghoa Indonesia? Pertama, meski perkembangan media digital tentu berkontribusi bagi penurunan jumlah pembaca surat kabar, namun bagi koran berbahasa Mandarin, gagalnya regenerasi pembaca nampaknya menjadi penyebab yang tak kalah penting. Koran berbahasa Mandarin masih mengandalkan pelanggan generasi lama, sementara generasi muda yang lahir ketika bahasa Mandarin sudah bebas dipelajari justru tidak menjadikan koran Mandarin sebagai sumber informasi utama. Ini memperlihatkan bahwa generasi muda Tionghoa yang lahir dan beranjak dewasa di era reformasi memiliki karakteristik yang beragam. Sebagian dari mereka mungkin saja mempelajari bahasa Mandarin dan menjadi pembaca dari surat kabar berbahasa Mandarin, namun sebagian lainnya nampaknya memilih untuk mengonsumsi media jenis lain sebagai sumber informasi.

Selain itu, permasalahan terkait koran berbahasa Mandarin dapat juga menjadi sebuah jendela untuk memahami kehadiran migran baru dari Tiongkok, yang antara lain terdiri dari para pemodal, pekerja, dan mahasiswa asing asal Tiongkok. Para migran baru tersebut sebetulnya dapat menjadi tambahan konsumen koran bahasa Mandarin. Namun sepertinya, jumlah mereka belum signifikan untuk menambah jumlah pelanggan koran Mandarin. Bila dugaan ini benar, maka fenomena merosotnya pembaca surat kabar berbahasa Mandarin di Indonesia dapat menjadi salah satu tolok ukur bagi sedikitnya jumlah migran baru dari daratan Tiongkok itu. Namun mungkin saja mereka tidak membaca koran berbahasa Mandarin terbitan lokal karena mereka memilih menggunakan media asal tanah air mereka, melalui platform yang diciptakan oleh Tiongkok, seperti WeChat dan platform portal berita lainnya.

Penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *