Ahli Ungkapkan Akar Masalah Status Hukum Kewarganegaraan Tionghoa

Ahli Ungkapkan Akar Masalah Status Hukum Kewarganegaraan Tionghoa

Jakarta – Diansir dari news.detik.com, Soal isu tenaga kerja dari China kembali ramai diperbincangkan beberapa waktu terakhir. Menurut ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, PhD, banyak hal yang melatarbelakanginya sehingga polemik itu muncul.

Menurut pemerhati China dan etnik Tionghoa dari jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan tersebut, hal itu bermula sejak Republik China (Nasionalis) yang menganggap semua orang Tionghoa yang tinggal di luar China sebagai warganya.

“Kebijakan ini menimbulkan ketidakjelasan status kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, yang pada masa itu juga telah mewarisi kewarganegaraan Hindia-Belanda, sebagai konsekuensi dari pemberlakuan Undang-undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910,” tutur Johanes Herlijanto kepada wartawan, Rabu (15/6/2022).

Sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan China. Kecenderungan tersebut merupakan sisa dari masalah kewarganegaraan yang pernah muncul pada abad yang lalu. Sebagai akibat ketumpangtindihan status kewarganegaraan di atas, Tionghoa di Indonesia menghadapi sebuah permasalahan yang dikenal sebagai dwikewarganegaraan. Permasalahan tersebut menimbulkan ganjalan bagi kedua negara sejak hubungan diplomatik antara Indonesia dan China mulai berlangsung pada 1950.

“Apalagi pada tahun-tahun awal dasawarsa 1950-an, RRC (Republik Rakyat China) berupaya mempengaruhi komunitas Tionghoa di Indonesia agar lebih mendekat pada Beijing, yang saat itu sedang berebut pengaruh dengan pemerintahan China Nasionalis di Taipei,” ujarnya.

Menurut pandangannya, penyebab RRC melakukan upaya di atas melalui kedutaan besarnya di Jakarta adalah karena China saat itu masih menganggap seluruh Tionghoa perantauan di luar China, termasuk Tionghoa Indonesia, sebagai warganya.

Sumber Foto : akcdn.detik.net.id

Merujuk pada karya Rizal Sukma yang berjudul ‘Indonesia and China: the Politics of a Troubled Relationship’, Johanes menceritakan bahwa upaya China tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan elite politik Indonesia saat itu. Namun kedua negara pada akhirnya menemukan solusi atas permasalahan di atas pada 1955, melalui penandatangan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian dwikewarganegaraan. Dalam pandangan Johanes, penandatanganan di atas terkait erat dengan perubahan sikap Beijing terhadap orang Tionghoa perantauan, sebagai diungkapkan oleh Profesor Suryadinata dalam buku berjudul ‘The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond’.

“Bila sebelumnya China menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955 Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal,” papar Johanes.

Sikap China di atas dipertegas kembali pada 1980. Ketika Beijing menerbitkan sebuah undang-undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan China atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Dalam hal Tionghoa Indonesia, perjanjian dwikewarganegaraan di atas segera dilaksanakan beberapa tahun sejak penandatanganan perjanjian itu.

“Namun berdasarkan catatan Profesor Leo Suryadinata, hingga awal tahun 1970-an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia,” tegas Johanes.

Jumlah etnik Tionghoa yang beralih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) meningkat pada dasawarsa 1980-an. Yaitu seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.

“Sebagai hasil dari percepatan proses naturalisasi di atas, maka seluruh orang Tionghoa Indonesia dewasa ini adalah sepenuhnya Indonesia, baik secara kewarganegaraan maupun identitas budaya,” papar Johanes.

Menurut Johanes, generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir atau tumbuh dewasa di zaman pemerintahan Orde Baru itu tidak memiliki memori mengenai China sebagai ‘tanah leluhur’. Bagi mereka Indonesia adalah Tanah Air mereka.

“Alih-alih berorientasi pada ‘tanah leluhur’, mereka kini berpegang pada peribahasa ‘luodi shenggen’, yang artinya, kurang lebih, berakar pada tanah di mana mereka tinggal,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa kecenderungan mencampuradukkan antara Tionghoa dan China seyogianya sudah dianggap usang dan harus ditinggalkan. Meski demikian, menurut dia, akhir-akhir ini China kembali menunjukkan minat pada urusan terkait Tionghoa di luar China.

“Menurut Profesor Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan China masa kini menganggap Tionghoa di luar China sebagai aset bagi negara mereka,” papar Johanes.

Sebagai contoh, dalam pidatonya pada 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa sebagai ‘putra dan putri bangsa China’ (zhonghua ernu), ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao), dan ‘anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa’ (zhonghua dajiating).

Menurutnya, penyebutan di atas berpotensi mengaburkan garis yang tegas antara Tionghoa perantauan berkewarganegaraan RRC (sering disebut Huaqiao) dan orang-orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara di mana mereka tinggal (popular dengan istilah Huaren). Sementara itu, khusus terhadap Tionghoa Indonesia, pemerintah China, melalui perwakilannya di Indonesia, sering kali mengimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan China.

Johanes berpendapat bahwa langkah RRC untuk mendekati baik orang Tionghoa maupun masyarakat Indonesia lainnya perlu dipahami dalam konteks ekspansi ekonomi China, diplomasi budaya, dan upaya untuk menanamkan kuasa lunak (soft power)-nya.

“Oleh karenanya, penting bagi seluruh kelompok masyarakat Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, untuk menempatkan diri secara tepat dalam konteks tersebut,” pungkas Johanes.

Sumber : https://news.detik.com/berita/d-6127896/ahli-beberkan-akar-masalah-status-hukum-kewarganegaraan-tionghoa/3

Berita Terkait Juga dimuat dalam Media : Tribunnews.com dan Kabar24.bisnis.com