China dan Hak Berdaulat Indonesia di Natuna

China dan Hak Berdaulat Indonesia di Natuna

Beberapa minggu yang lalu, berita mengenai masuknya kapal penjaga pantai Republik Rakyat China (berikutnya disebut sebagai China) di perairan Natuna Utara— sebuah perairan yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia—kembali muncul di berbagai media arus utama di Indonesia. Berita tersebut menceritakan kisah seorang nelayan lokal yang mengaku telah diintimidasi oleh kapal penjaga pantai asing. Peristiwa di atas merupakan salah satu dari perkembangan termutakhir terkait ketegangan antara Indonesia dan China di perairan tersebut di atas. Sebelumnya, pada akhir tahun 2021 yang lalu, tiga wartawan kantor berita Reuters, yaitu Tom Allard, Kate Lamb, dan Agustinus Beo Da Cost, memberitakan bahwa China melontarkan protes terhadap pengeboran yang dilaksanakan oleh Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing yang diberi kontrak di wilayah tersebut.  Bagaimana asal muasal terjadinya ketegangan antara Indonesia dan China di perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara tersebut? Bagaimana duduk perkaranya? Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh China dalam waktu dekat? Bagaimana seharusnya Indonesia bersikap? Artikel singkat ini akan membahas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Ketegangan antara Indonesia dan China, yang seringkali diwarnai beberapa insiden di perairan Natuna Utara tersebut terkait erat dengan tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan. Wilayah yang sangat luas ini membentang dari pantai selatan China dan Taiwan, hingga ke perbatasan Indonesia, Brunei, dan Malaysia di sebelah selatan. Wilayah ini disengketakan oleh beberapa negara dan entitas politik, termasuk China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam negara yang terlibat dalam sengketa di atas. Namun pada sebuah workshop yang dimotori oleh Indonesia dan diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1993, China untuk pertama kalinya memaparkan sebuah peta yang memperlihatkan klaim yang menurut China didasarkan pada sejarah. Klaim kewilayahan yang mencengangkan itu ditandai dengan sembilan garis putus-putus, yang kini lebih dikenal dengan sebuatan “nine-dash line.” Di sanalah problem antara Indonesia–China mulai muncul: salah satu garis putus-putus tersebut berada di wilayah ZEE Indonesia di dekat Kepulauan Natuna. Indonesia merespons munculnya sembilan garis putus tersebut, yang salah satunya berada di wilayah ZEE Indonesia itu, dengan meminta klarifikasi kepada China. Namun, sebagai dituturkan oleh Profesor Hasjim Djalal, seorang diplomat senior yang terlibat dalam upaya memperoleh kejelasan dari China, negara tersebut tidak pernah memberikan klarifikasi yang jelas. China hanya mengatakan bahwa Natuna adalah milik Indonesia dan China tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan Indonesia, sebuah jawaban yang penulis juga dapatkan ketika bertanya pada seorang akademisi senior yang merupakan anggota delegasi China dalam sebuah dialog terkait pertahanan di Jakarta tahun 2014.

Gambar Peta Laut Natuna, Sumber foto : kumparan.com

Meskipun China selalu menyatakan bahwa ia tidak memiliki sengketa kewilayahan dengan Indonesia, insiden antara Indonesia dan China tetap terjadi di sekitar perairan Natuna.  Insiden berupa masuknya kapal-kapal nelayan China dan intervensi kapal penjaga pantai China di wilayah ZEE Indonesia sebenarnya telah terjadi pada 2010 dan 2013. Namun sebagaimana dituliskan oleh Profesor Suryadinata, pemerintahan Presiden Yudhoyono pada waktu itu memilih untuk menyelesaikan permasalahan yang ada secara diam-diam sehingga tidak menjadi perbincangan khalayak ramai. Akan tetapi,  pada 2016 terjadi serangkaian insiden yang menimbulkan ketegangan antara kedua negara. Pada bulan Maret tahun tersebut, petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap sebuah kapal nelayan China yang memasuki perairan  Natuna dan diduga melakukan pelanggaran dalam wilayah ZEE Indonesia. Namun pada saat kapal patroli KKP sedang berupaya melakukan penegakan hukum, sebuah kapal penjaga pantai (coast guard) China melakukan intervensi, serta menghalangi petugas KKP melakukan penangkapan. Insiden ini diberitakan secara luas di media media nasional dan menimbulkan keresahan, baik di kalangan elit maupun masyarakat Indonesia secara umum. Apalagi, insiden serupa kembali terjadi pada bulan Mei dan Juni pada tahun yang sama, dan akhir-akhir ini, khususnya pada tahun 2019, 2020, dan bahkan 2021, berbagai peristiwa yang memperuncing ketegangan terkait perairan Natuna kembali terjadi. Protes China atas pengeboran lepas pantai Indonesia pada tahun 2021 lalu merupakan salah satu episode terkini dari permasalahan antara Indonesia dan China terkait dengan perairan Natuna Utara. Protes tersebut ditanggapi pihak Indonesia dengan sekali lagi menekankan hak berdaulat Indonesia di wilayah tersebut, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Namun apakah upaya China untuk mempertahankan klaim kepemilikan historis yang tidak berdasar itu akan mereda? Pertanyaan ini menarik untuk direnungkan.

Untuk memprediksi sikap China di masa mendatang terkait klaim mereka atas wilayah yang ditandai dengan garis putus-putus, yang salah satunya mencakup wilayah ZEE Indonesia di Laut China Utara, penting kiranya untuk memahami apa yang oleh Profesor Jonathan Holslag disebut sebagai Aspirasi Besar China. Aspirasi tersebut, menurut Holslag, sudah mulai dikembangkan sejak Partai Komunis China menguasai negara itu di tahun 1949. Aspirasi besar tersebut terdiri dari empat tujuan strategis, yang meliputi (1) penguasaan terhadap wilayah perbatasan, seperti Yunnan, Tibet, Xinjiang, dan Mongolia Dalam; (2) memperkuat legitimasi politik Partai Komunis China; (3) penghormatan atas kedaulatan China; dan (4) mengambil kembali bagian dari teritori China yang hilang. Dalam pandangan penulis, tujuan strategis ketiga dan keempat di atas tentu akan berbenturan dengan negara atau entitas politik lain di sekitar China, bahkan dengan kekuatan Barat. Tujuan strategis keempat, bila dilaksanakan, akan termasuk mengintegrasikan Taiwan, sebuah wilayah yang bagi Beijing merupakan sebuah provinsinya yang sementara terlepas. Upaya ini tentu akan sedikit banyak berdampak bagi stabilitas kawasan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah klaim China yang menganggap wilayah yang dibatasi dengan sembilan garis putus-putus sebagai wilayahnya. Bila sikap ini dihubungkan dengan tujuan strategis keempat di atas, perbenturan dengan beberapa negara-negara Asia Tenggara, termasuk meningkatnya ketegangan dengan Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan, meski itu bisa saja baru terjadi beberapa dasawarsa mendatang. Apalagi, sebagai dinyatakan Presiden Xi Jinping di tahun 2018, China tidak akan melepaskan satu inci pun wilayahnya. Sikap ini menjadi mengkhawatirkan bila dihubungkan dengan klaim China terhadap sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus di atas.  Apalagi, China juga terlihat tetap berupaya mengklaim sebagian wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara, sebuah klaim yang telah ditolak oleh Indonesia.

Terhadap klaim China yang tidak berdasar menurut UNCLOS itu, Indonesia perlu mempertahankan sikap non-negosiasi dan non-kompromi. Selain itu, perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengunjungi Kepulauan Natuna pada 2016 dan 2019 merupakan langkah yang pas karena selain memperlihatkan kehadiran pemerintah pusat di wilayah itu, kunjungan Jokowi juga menunjukan keseriusan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulatnya. Demikian juga dengan kerja sama pertahanan dengan berbagai negara lain, termasuk dengan Amerika Serikat, yang antara lain dilaksanakan dalam bentuk pembangungan Pusat Pelatihan Maritim di Batam, dan latihan bersama dengan nama “Garuda Shield” pada Agustus tahun 2021, maupun pada tahun 2022 ini. Namun lebih dari itu, Indonesia perlu memperkuat kemampuan pertahanan, antara lain dengan mengadakan berbagai alat tempur, baik kapal selam, kapal perang, maupun pesawat tempur, seperti yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Penulis adalah pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia, Jakarta.

(/FSI)

satu Respon

  1. Sebagai orang Indonesia, walaupun leluhur saya orang Tionghoa, saya tak setuju kalau website ini menggunakan istilah “China.’ Keberatan saya karena istilah itu tidak ada dalam kosakata Bahasa Indonesia. Mengapa kiita tidak pakai saja istilah “Cina” . Memang ada di antara kita keberatan dengan istilah tersebut karena dianggap menghina. Tapi, ada sebutan lain yakni “Tiongkok.” Setahu saya istilah berbau bahasa barat “China” itu dipakai atas desakan Kedutaan Besar RRT di Jakarta. Jadi, jika kita terus menggunakan istilah “China” itu, kita telah tunduk pada kuasa lunak Tiongkok yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *