Aspek Bilateral dan Global dalam Hubungan Indonesia-Tiongkok: Catatan Kunjungan Wang Yi ke Indonesia

Aspek Bilateral dan Global dalam Hubungan Indonesia-Tiongkok: Catatan Kunjungan Wang Yi ke Indonesia

Pada 9 Juli 2022 lalu Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok Wang Yi bertemu dengan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Pandjaitan dan Menlu Retno Marsudi di Bali. Pertemuan itu menjadi bagian dari agenda kunjungan Menlu Wang Yi ke Indonesia terkait Pertemuan Menteri Luar Negeri G20, kunjungan ke sekretariat ASEAN di Jakarta, serta pertemuan beliau dengan Presiden Joko Widodo. Kunjungan Menlu Wang Yi ke Indonesia juga merupakan bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara, termasuk ke Myanmar, Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Pertemuan tiga menteri itu tentu saja memiliki poin penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok. Namun, dalam konteks lebih luas, kunjungan Menlu Wang Yi kali ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk menyikapi isu kontestasi Tiongkok dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Australia, dan lainnya baik pada tataran global, maupun secara khusus di kawasan Asia Pasifik.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi sebelum bilateral jelang pelaksanaan Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bali, Kamis (7/7/2022). Sumber : apicms.thestar.com

Dalam konteks hubungan bilateral, hal yang menarik untuk dicermati adalah pernyataan Menko Marves Luhut Pandjaitan seusai pertemuan diatas. Sang menteri mengemukakan bahwa kerja sama Indonesia-Tiongkok dalam kerangka sinergi antara visi GMF (Global Maritime Fulcrum) Indonesia dengan BRI (Belt and Road Initiative) Tiongkok akan terus berlanjut. Masih menurut Menko Marves, kerja sama tersebut akan kembali dikukuhkan saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Tiongkok, yang menurut rencana akan dilaksanakan pada akhir Juli 2022. Pada kunjungan tersebut, Presiden Joko Widodo diharapkan akan menandatangani memorandum of understanding (MoU) perpanjangan sinergi GMF-BRI yang sebelumnya telah ditandatangani kedua negara pada 2018.  

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok dalam situs resminya menegaskan bahwa Tiongkok mengapresiasi penyelenggaraan Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 dan menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Kedua negara juga akan mengembangkan kerja sama dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan pemulihan pascapandemi, serta kerja sama dalam bidang ekonomi digital, green development, pertanian, ketahanan pangan, serta penanggulangan kemiskinan. Selain itu, kedua negara sepakat mempercepat pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, dan Two Countries, Twin Parks (TCTP).  Sebagai catatan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah dimulai sejak 2016, sedangkan MoU pengembangan TCTP ditandatangani pada saat Menlu Wang Yi berkunjung ke Prapat, Sumatera Utara pada 12 Januari 2021. TCPT akan mencakup tiga kawasan industri di Indonesia, yaitu Bintan Industrial Estate di Kepulauan Riau, serta Batang Industrial Park dan Aviarna Industrial Park di Jawa Tengah. Selain itu, TCTP melingkupi satu kawasan di Tiongkok, yaitu Zona Investasi Yuanhong di Provinsi Fujian.

Pemberitaan pada situs kementerian luar negeri Tiongkok terhadap pertemuan ketiga menteri di atas sangat menarik untuk diperhatikan. Berbagai detail yang dikemukakan tentang pertemuan tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok memandang Indonesia sebagai mitra strategis bagi program BRI Tiongkok. Pernyataan-pernyaataan yang disampaikan juga mengindikasikan bahwa kerja sama kedua negara dalam konstruksi sinergi GMF dan BRI akan berlangsung dalam jangka panjang. Namun, hal menarik lain yang penting untuk dicermati terkait pertemuan tiga menteri di atas adalah pemberitaan bahwa Indonesia mendukung dan dan siap turut serta dalam Global Security Initiative (GSI) atau Inisiatif Keamanan Global versi Tiongkok. Isu terkait dukungan dukungan Indonesia terhadap GSI ini bukan hanya disampaikan pada situs kementerian luar negeri Tiongkok, tetapi juga cukup ramai dibicarakan dalam berbagai media asal negara itu. Meski demikian, isu tersebut justru kurang terlalu diangkat oleh media-media di tanah air. Mengapa demikian? Hal tersirat apa yang dapat kita tarik dari fenomena ini? Pertanyaan pertanyaan ini penting untuk diajukan mengingat keterkaitannya dengan aspek global dari pertemuan antara menlu Tiongkok dan kedua menteri Indonesia tersebut.

Sebelum mendiskusikan pertanyaan di atas, perlu bagi kita untuk sedikit membahas mengenai GSI itu sendiri. GSI merupakan inisiatif yang dikemukakan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam Konferensi Tahunan Forum Asia Boao 2022 di Beijing, Tiongkok, pada 21 April 2022. Dalam pidato berjudul “Menjawab Tantangan dan Membangun Masa Depan yang Cerah Melalui Kerja Sama”, Presiden Xi Jinping menyampaikan gagasan GSI yang berbasis pada enam hal, yakni komitmen pada visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan; penghormatan kepada kedaulatan dan integritas teritorial semua negara; komitmen untuk mematuhi tujuan dan prinsip Piagam PBB, dan menolak mentalitas Perang Dingin; komitmen untuk menganggap serius keprihatinan yang legitimate dari seluruh negara akan isu keamanan; berkomitmen pada solusi damai bagi perbedaan dan perselisihan antar negara melalui dialog; serta komitmen untuk memelihara keamanan pada domain tradisional maupun non tradisional.

Pada tataran tertentu, poin tentang penolakan atas “mentalitas Perang Dingin” menyiratkan sikap tegas Tiongkok terhadap berbagai pakta atau kerangka keamanan yang disebut bertujuan untuk membendung pengaruh Tiongkok, terutama di Asia Pasifik. Sebut saja the Quadrilateral Security Dialog atau Quad yang terdiri dari AS, Jepang, India, dan Australia. Selain itu, pada tahun 2021 Inggris, AS, dan Australia membentuk pakta keamanan di Asia-Pasifik yang dikenal sebagai AUKUS. Dalam lingkup lebih luas, terdapat payung kepentingan yang disebut Free and Open Indo Pacific (FOIP) yang utamanya dimotori oleh AS, Jepang, dan sekutu-sekutunya dalam merespon meluasnya pengaruh Tiongkok.

Sebelum kunjungan ke Indonesia, Menlu Wang Yi melawat ke delapan negara Kepulauan Pasifik, yaitu Kepulauan Solomon, Kiribati, Samoa, Fiji, Tonga, Vanuatu, Papua Nugini, serta Timor Leste selama Mei-Juni 2022. Misi itu dikatakan bertujuan untuk mengkonsolidasikan persahabatan, mewujudkan pembangunan bersama, dan masa depan yang lebih baik di antara negara-negara Kepulauan Pasifik yang menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Kunjungan itu berlangsung sekitar satu bulan setelah Tiongkok menandatangai perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon yang diinterpretasikan akan membuka jalan bagi kehadiran Tiongkok di kawasan Kepulauan Pasifik secara umum. Meski perjanjian ini menimbulkan kekhawatiran, antara lain bagi Australia, Tiongkok tetap menindaklanjuti usulannya untuk mengadakan kerja sama dengan negara-negara Pasifik, termasuk dalam hal keamanan. Akan tetapi, proposal kerja sama Beijing dalam aspek keamanan tersebut mendapat penolakan negara-negara Pasifik

Berbagai fakta di atas memperlihatkan meningkatnya suhu geopolitik dan geostrategi di kawasan Asia Pasifik. Sebagai negara yang berada di dalamnya, Indonesia tentu harus mampu merespon berbagai dinamika itu dengan tepat, tanpa harus larut di dalamnya. Kemampuan tersebut telah diperlihatkan oleh Indonesia dalam merespons berbagai isu yang telah mengemuka sebelum ini. Dalam isu FOIP misalnya, Indonesia mampu mengambil kepemimpinan di antara negara-negara ASEAN dalam membentuk ASEAN Outlook on the Indo Pacific yang menegaskan posisi sentral ASEAN terhadap kerangka Indo-Pasifik.

Sikap yang menegaskan posisi sentral ASEAN di atas tersebut nampaknya akan tetap dipegang oleh Indonesia dalam merespons ajakan Tiongkok terkait  GSI. Alih-alih menunjukan sikap yang tegas, sebagaimana diberitakan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok dan berbagai media asal negara itu, Indonesia justru memperlihatkan sikap hati-hati terkait pertemuan tiga menteri di Bali beberapa waktu lalu itu. Seperti terlihat dalam berbagai pemberitaan pada media dalam negeri, posisi Indonesia dalam kerangka sinergi GMF-BRI yang bertumpu pada pembangunan dan ekonomi menjadi isu yang lebih dominan daripada masalah posisi Indonesia terhadap GSI.

Kecenderungan Indonesia untuk mengangkat isu terkait GMF-BRI tersebut menyiratkan bahwa sementara waktu Indonesia akan lebih mengarahkan hubungannya dengan Tiongkok untuk agenda pembangunan dan ekonomi. Akan tetapi, seperti halnya dalam isu FOIP, pada waktunya Indonesia tentu akan bersikap proaktif dalam merespon dinamika geopolitik dan geostrategi yang tengah terjadi.

Muhammad Farid adalah sekretaris FSI dan dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden, Cikarang.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *