Babak Baru Hubungan Tiongkok–Australia: Tantangan Di Tengah Upaya Perbaikan

Babak Baru Hubungan Tiongkok–Australia: Tantangan Di Tengah Upaya Perbaikan

Pada sebuah acara yang diadakan oleh Australia–China Relations Institute di kampus University of Technology Sydney (UTS) pada Jumat, 20 Juni 2022 yang lalu, Duta besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Australia, Xiao Qian,  menyampaikan pidato terkait hubungan bilateral kedua negara. Dalam pidato tersebut, Duta Besar Xiao memaparkan sejarah perjalanan hubungan diplomatik Tiongkok dan Australia yang pada tahun ini menginjak usia ke-50. Selain itu, dia juga menekankan pentingnya mempertahankan momentum untuk mengembalikan hubungan kedua negara ke jalur yang benar. Hubungan bilateral kedua negara itu memang sempat mencapai titik terendah beberapa tahun belakangan ini. Ketegangan tersebut dipicu oleh beberapa hal, antara lain seruan mantan Perdana Menteri Scott Morrison untuk menyelidiki asal usul virus Covid-19 di Wuhan, Tiongkok, serta larangan bagi perusahaan telekomunikasi Tiongkok, Huawei Technologies Co, untuk berpartisipasi dalam jaringan 5G Australia. Aksi ini dibalas oleh Tiongkok dengan pengenaan tarif untuk produk impor asal Australia, seperti daging sapi, anggur, dan batu bara. Di samping itu, Kedutaan Besar Tiongkok di Canberra mengeluarkan daftar keluhan terhadap Australia, di antaranya menyangkut dukungan pemerintah kepada lembaga riset yang kontra Tiongkok. Lalu apakah pidato Duta Besar Xiao di atas dapat dimaknai sebagai langkah awal perbaikan hubungan kedua negara? Bagaimana sikap pemerintahan baru Australia, di bawah perdana menteri baru Anthony Albanese terhadap Tiongkok? Bagaimana pula persepsi rakyat Australia di level akar rumput terhadap potensi perbaikan hubungan bilateral ini? Pertanyaan – pertanyaan ini merupakan sederet pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan.

Pasang Surut Hubungan Bilateral Tiongkok–Australia

Hubungan Australia dan Tiongkok dapat ditelusuri kembali setidaknya hingga sekitar setengah abad yang lampau. Bahkan sebelum Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Henry Kissinger mengunjungi Tiongkok, ketua Partai Buruh Australia, yang ketika itu menjadi pemimpin oposisi, Gough Whitlam sudah mengadakan lawatan ke Tiongkok pada 1971. Pada bulan Desember 1972, setelah kemenangannya dalam pemilu federal dan menjadi perdana menteri Australia, Whitlam secara resmi membuka hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok, dan mengakhiri pengakuan Australia terhadap Republik Tiongkok yang berkedudukan di Taiwan. Langkah ini terbukti memberikan keuntungan bagi kedua negara ketika Tiongkok mulai menerapkan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping pada 1979. Proyek modernisasi ekonomi dan infrastruktur Tiongkok ditopang oleh impor bahan mentah dan energi, seperti bijih besi, batu bara, dan gas alam, dari Australia. Lebih dari itu, Australia juga menjadi salah satu investor asing pertama yang ikut menanamkan modal di sektor industri pertambangan dan energi Tiongkok. Memasuki dekade 1990-an, seiring dengan munculnya kelas menengah di kota-kota besar Tiongkok, Australia menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Tiongkok untuk mengenyam pendidikan tinggi. Berdasarkan data Biro Statistik Australia, pada 2010 jumlah pemegang visa pelajar dari Tiongkok lebih dari 24 ribu orang atau sekitar 21% dari total pelajar asing di Australia.

Riak-riak dalam hubungan bilateral Tiongkok dan Australia mulai terasa di akhir 1980-an. Setelah Tragedi Tiananmen 1989, Australia memberikan suaka kepada lebih dari 20 ribu mahasiswa yang melarikan diri dari Tiongkok. Sebagian besar dari mereka inilah yang menjadi pengkritik paling vokal terhadap kondisi hak asasi manusia di Tiongkok. Isu HAM memang kerap menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara. Misalnya, ketika Perdana Menteri John Howard menerima kunjungan Dalai Lama pada tahun 2007, Tiongkok langsung mengirimkan protes resmi.

Terpilihnya Kevin Rudd sebagai perdana menteri pada pemilu tahun 2007, sempat membawa angin segar bagi hubungan bilateral Australia dan Tiongkok. Sebagai lulusan studi Cina dari Australia National University yang fasih berbahasa Mandarin, Rudd menetapkan kedekatan dengan Asia sebagai salah satu pilar kebijakan politik luar negerinya. Pada masa kepemimpinannya, hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara mencapai masa keemasan. Pada akhir 2007 Tiongkok menggeser posisi Jepang sebagai mitra dagang terbesar Australia, dan pada 2009 Tiongkok menjadi pasar ekspor terbesar Australia.

Perdana Menteri Julia Gillard, yang menggantikan Rudd, memilih kebijakan luar negeri yang lebih condong ke Amerika. Ini ditunjukkan melalui keinginan Australia untuk kembali bergabung dalam Quadrilateral Security Dialogue, bersama Amerika Serikat, Jepang, dan India, setelah sempat absen pada masa pemerintahan Rudd. Di sisi lain, Perdana Menteri Gillard masih ingin tetap memperkuat hubungan ekonomi dengan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar Australia. Kebijakan mendekati Amerika untuk masalah keamanan sambil menjaga hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Tiongkok masih terus berlanjut pada masa Perdana Menteri Tony Abbott. Bahkan pada masa pemerintahannya, Australia dan Tiongkok berhasil menyepakati perjanjian perdagangan bebas tarif. 

Kerenggangan hubungan Tiongkok dan Australia mulai tampak sejak 2015 pada masa pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull. Di bawah kepemimpinannya, Australia dengan tegas menolak klaim “Sembilan Garis Putus-putus” Tiongkok di wilayah Laut Cina Selatan, seperti putusan pengadilan arbitrase Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Australia bahkan mengeluarkan pernyataan bersama Jepang dan Amerika Serikat yang berisi seruan agar Tiongkok mematuhi putusan tersebut. Media Tiongkok membalas dengan menyebut Australia sebagai “macan kertas.” Selain itu, Turnbull juga memerintahkan penyelidikan dugaan spionase dan intervensi asing setelah stasiun televisi Australia menurunkan liputan investigasi soal upaya Tiongkok dalam mendekati dan mempengaruhi politisi Australia, salah satunya melalui donasi kampanye. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut perintah penyelidikan itu sebagai usaha yang sia-sia dan hanya akan menghalangi kerja sama yang lebih erat antara kedua negara.

Perdana Menteri Scott Morrison, yang menggantikan Turnbull, juga lebih memandang kebangkitan Tiongkok sebagai ancaman. Selain masalah keamanan, isu HAM di Tiongkok juga terus menjadi sorotan pemerintah Australia. Turnbull secara terang-terangan mengkritik pengesahan Undang-undang Keamanan Nasional Hong Kong pada Juni 2020. Pemerintahannya menunda perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong karena menganggap undang-undang yang baru disahkan tersebut dapat dipakai untuk membungkam oposisi.

Sumber Foto : foto.wartaekonomi.co.id

Tantangan Di Tengah Upaya Perbaikan Hubungan

Terpilihnya Anthony Albanese sebagai perdana menteri Australia pada Mei 2022 memberikan sinyal positif menuju perbaikan hubungan bilateral Tiongkok dan Australia. Segera setelah Albanese menjabat, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang mengirimkan ucapan selamat. Seperti dikutip kantor berita Xinhua, dalam pesannya, Perdana Menteri Li menyampaikan bahwa hubungan kedua negara yang kokoh dan stabil adalah aspirasi rakyat Tiongkok. Di samping itu, Li juga mengingatkan kembali sejarah awal mula hubungan diplomatik Australia dengan Tiongkok, dengan menyebut bahwa pada awal 1970-an Partai Buruh Australia, partai yang dipimpin Albanese sekarang, membuat keputusan tepat untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Pada bulan Juni 2022, pemerintahan Albanese, yang diwakili oleh Menteri Pertahanan Richard Marles, mengadakan pertemuan empat mata dengan Menteri Pertahanan Tiongkok, Wei Fenghe. Pertemuan ini memiliki arti penting bagi hubungan bilateral kedua negara karena ini adalah dialog level menteri pertama sejak beberapa tahun terakhir. Dalam dialog tersebut, seperti dilansir lembaga penyiaran Australia ABC, Marles mengakui bahwa Australia dan Tiongkok memiliki hubungan yang kompleks. Karena kompleksitas hubungan inilah, kesediaan kedua pihak untuk memulai dialog memiliki arti yang sangat penting. Ini adalah langkah awal yang sangat krusial. Di samping itu, seperti diberitakan South China Morning Post, Marles juga menjawab kekhawatiran Wei soal pakta pertahanan trilateral AUKUS. Marles menjelaskan kepada mitranya bahwa keterlibatan Australia dalam AUKUS, bersama Amerika Serikat dan Inggris, lebih berfokus pada usaha peningkatan kapasitas pertahanan. Jadi, AUKUS bukan sebuah “aliansi” dan tidak dapat disebut sebagai “NATO mini.”

Jika pada level kebijakan pemerintah perlahan-lahan terlihat ada usaha untuk merekatkan hubungan bilateral yang sempat renggang, bagaimana dengan publik Australia? Untuk menjawab pertanyaaan ini, sangat penting untuk mencermati hasil survey yang secara berkala dilaksanakan oleh Lowy Institute, lembaga think tank yang berbasis di Sydney, Australia, untuk mengetahui persepsi publik Australia terhadap Tiongkok. Pada survey yang mereka selenggarakan di tahun 2016 dan 2021, responden cenderung memandang Tiongkok secara negatif dalam aspek terkait aktivitas militer di kawasan, sistem pemerintahan, kebijakan lingkungan hidup, dan investasi di Australia. Sementara itu, antara tahun 2015 dan 2022, lembaga ini juga mengadakan jajak pendapat mengenai apakah publik Australia melihat Tiongkok lebih sebagai mitra ekonomi atau ancaman keamanan. Yang menarik, pada periode antara 2015 sampai 2018, hanya belasan persen yang menganggap Tiongkok sebagai ancaman. Namun persepsi publik berubah drastis pada survey tahun 2020, lebih dari 40% responden lebih menganggap Tiongkok sebagai ancaman keamanan daripada mitra ekonomi. Pada survey berikutnya, tahun 2021 dan 2022, jumlah responden yang  lebih memandang Tiongkok sebagai ancaman sudah melebihi 60%. Persepsi publik Australia ini terlihat sejalan dengan retorika dan narasi kebangkitan Tiongkok sebagai ancaman keamanan kawasan yang selalu digaungkan oleh pemerintahan sebelumnya.   

Kuatnya persepsi negatif di kalangan publik Australia tentu menjadi tantangan yang cukup berat bagi usaha perbaikan hubungan antara Australia dan Tiongkok. Tantangan lain yang tak kalah pentingnya adalah manuver terbaru Tiongkok yang menandatangani kesepakatan pertahanan dengan Kepulauan Solomon. Manuver ini berpotensi dipahami seolah- olah Tiongkok ingin mengikis lingkup pengaruh (sphere of influence) Australia di wilayah Pasifik Selatan. Hal ini pada gilirannya dapat memperkuat kekhawatiran publik Australia terhadap kebangkitan Tiongkok sebagai ancaman keamanan kawasan. Namun demikian, usaha kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan bilateral patut diapresiasi, mengingat hubungan yang stabil antara dua kekuatan besar, seperti Tiongkok dan Australia, tentu saja sedikit banyak akan membantu menjaga kestabilan wilayah Asia Pasifik.

Penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *