Etnis Tionghoa Kepulauan Riau: di antara Lokalitas dan Interlokalitas

Etnis Tionghoa Kepulauan Riau: di antara Lokalitas dan Interlokalitas

Pada 24 Juni 2022 yang lalu, seperti diberitakan oleh harian Kompas.com, sekelompok masyarakat yang menamakan diri Ikatan Tionghoa Muda (ITM) menjalin sebuah kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kepulauan Riau. Melalui kerja sama ini, kedua belah pihak menyelenggarakan festival kebudayaan Tionghoa Tanjung Pinang. Peristiwa di atas menarik untuk diperhatikan mengingat festival yang diselenggarakan melalui kerja sama tersebut tidak hanya menampilkan perayaan atraksi kebudayaan etnis Tionghoa belaka, namun memadukan kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Hal lain yang juga menarik adalah pernyataan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang mengungkap harapan mereka agar kegiatan kebudayaan ini dapat menyerap kembali angka kunjungan wisata dari negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia. Bagaimana sesungguhnya keterkaitan komunitas Tionghoa di Kepulauan Riau baik dengan kebudayaan setempat maupun dengan komunitas Tionghoa di Singapura dan Malaysia? Pertanyaan inilah yang akan menjadi topik bahasan dari artikel singkat ini

Perkebunan Gambir dan Sejarah Etnis Tionghoa Kepulauan Riau

Siapakah etnis Tionghoa Kepulauan Riau ini? Berdasarkan angka statistik BPS 2010, etnis Tionghoa Kepulauan Riau menempati angka populasi yang cukup besar, yaitu 13 persen dari total populasi penduduk Kepulauan Riau, atau di urutan ketiga setelah etnis Melayu dan Jawa. Bila ditelisik dari akar sejarah kedatangannya, tulisan dari Lyons dan Ford yang berjudul “The Chinese of Karimun” mengatakan bahwa etnis Tionghoa telah mendiami Kepulauan Riau sejak 1743. Sebagian besar dari etnis Tionghoa yang bermigrasi ke wilayah tersebut adalah para penutur dialek Tiociu.  Kedatangan mereka ke Kepulauan Riau ialah untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan gambir. Dalam tulisan Trocki (1976), diceritakan mengenai sosok Daeng Celak sebagai seorang yang pertama sekali menginisiasi pemakaian tenaga kuli dari Tiongkok untuk mengembangkan perkebunan gambir di sana. Kedatangan mereka kemudian membuka permukiman perkampungan Cina di Tanjung Pinang dan Senggarang. Menurut Long (2013), etnis Tionghoa buruh perkebunan gambir inilah yang pertama kali menemukan dan mendiami Tanjung Pinang.

Pada waktu itu, gambir menjadi komoditas dagang andalan dari Kepulauan Riau. Daun gambir dibutuhkan sebagai bahan baku untuk obat-obatan dan juga untuk penyamakan kulit. Selain gambir, komoditas berharga lainnya ialah lada. Trocki menyebutkan keberadaan komoditas gambir dan lada telah membuat Kepulauan Riau menjadi gerbang pelabuhan strategis.  Maka dari itu, keberadaan buruh migran di Kepulauan Riau memainkan peranan penting dalam rantai komoditas gambir di pasar dunia dan juga menjaga ketersediaan beras di Riau. Pada waktu itu, komoditas gambir dari Kepulauan Riau dapat mendatangkan komoditas beras dari Jawa.

Bagian dari sejarah etnis Tionghoa Kepulauan Riau yang tak kalah menariknya ialah fakta bahwa para migran Tionghoa tersebut pernah memiliki satu masa kejayaan secara politik dan ekonomi. Periode kejayaan itu terjadi di tahun 1784, ketika Kesultanan Johor melepaskan Kepulauan Riau dan diikuti dengan kepindahan orang-orang Melayu dan Bugis dari pulau tersebut. Orang Tionghoa di pulau itu mengorganisir sendiri kekuatan mereka melalui kongsi rahasia dan sistem perkebunan. Perlahan-lahan, orang-orang Tionghoa di Kepulauan Riau memainkan peran penting dalam sektor perkebunan, tambang timah, perkayuan, bahan bakar, dan arang untuk pasar Singapura. Lyons dan Ford mengatakan, di awal abad ke-20 masifnya jumlah perantau migran dari suku Hokkian berhasil menggeser pengaruh penutur dialek Tiociu dalam bidang ekonomi. Namun, hal itu justru membuat orang Tionghoa di Kepulauan Riau menjadi beragam, lalu bercampur baur dengan etnis Melayu dan Bugis. Kelak, latar belakang sejarah ini membuat etnis Tionghoa Kepulauan Riau memiliki karakteristik yang berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah Indonesia lainnya.

Gambar kampung Tionghoa Melayu Pekanbaru. Sumber : kompasiana.com

Kekhasan Etnis Tionghoa Kepulauan Riau

Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan baru-baru ini, Charlotte Setijadi (2022) menggambarkan etnis Tionghoa Kepulauan Riau sebagai sebuah komunitas Tionghoa yang memiliki kharakteristik tersendiri. Kekhasan tersebut meliputi letak geografis dari wilayah yang mereka diami, aktivitas lintas batas mereka, baik dalam sejarah maupun di era kontemporer. Dari segi geografis, kepulauan Riau adalah gugusan pulau-pulau terdepan Indonesia yang berseberangan dengan negara Singapura dan Malaysia di bagian utara. Tampaknya, kedekatan jarak geografis inilah yang memungkinkan terbangunnya koneksi orang-orang Tionghoa di Kepulauan Riau dengan saudara-saudara mereka di Singapura melalui perdagangan, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Tionghoa di Kepulauan Riau menjadi penyuplai komoditas untuk pasar di Singapura. Sebaliknya orang Tionghoa Kepulauan Riau membeli barang-barang dagangan dari Singapura.  

Keterhubungan antara orang Tionghoa di Kepulauan Riau dan Singapura tetap ajeg hingga di masa pascakemerdekaan Indonesia. Sebagai dikemukakan Setijadi, konektivitas antara etnis Tionghoa Kepulauan Riau dengan Singapura itu berkontribusi pada terjaganya bahasa dan kebudayaan etnis Tionghoa di kepulauan itu. Lyons dan Ford juga mengatakan hal senada, kedua penulis tersebut berargumen bahwa etnis Tionghoa Kepulauan Riau banyak terpapar pada budaya dan bahasa Mandarin melalui tontonan televisi. Penduduk Kepulauan Riau jauh lebih mudah mengakses siaran hiburan dari Singapura dari pada siaran televisi dari Jakarta pada waktu itu. Etnis Tionghoa Kepulauan Riau juga memanfaatkan jejaring kebudayaan tersebut dalam keperluan bisnis. Orang Tionghoa Kepulauan Riau berperan sebagai penghubung antara pengusaha atau investor dari Singapura untuk membangun peluang bisnis di Kepualauan Riau.

Meski demikian, di tengah aktivitas lintas batas di atas, orang Tionghoa Kepulauan Riau tetap membangun interaksi yang baik dengan etnis non-Tionghoa. Dalam tulisan Lyons dan Ford diuraikan bahwa etnis Tionghoa dari Kepulauan Riau memiliki pengalaman yang berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah Indonesia lainnya, khususnya di Jawa. Etnis Tionghoa di Kepualauan Riau hidup berdampingan dengan etnis Melayu, Bugis, Jawa, Batak, dan suku-suku lainnya di Kepulauan Riau. Relasi Etnis Tionghoa Kepulauan Riau terintegrasi dalam kehidupan sosial-budaya di sana, di mana etnis Tionghoa dan etnis non-Tionghoa lumrah terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan hingga kegiatan festival keagamaan di ruang publik.

Ketika Orde Baru menjalankan kebijakan asimilasi yang disertai pelarangan agama dan kebudayaan Tionghoa, serta tulisan dalam bahasa Mandarin di ruang publik melalui TAP MPRS No. 32 Tahun 1966, etnis Tionghoa di Kepulauan Riau justru tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan bahasa Mandarin, bahkan bahasa dialek suku seperti bahasa Hokkien atau Tiociu dalam kehidupan sehari-hari. Orang Tionghoa di Kepulauan Riau tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk mengekspresikan kebudayaan, agama, dan aksara mereka. Alhasil, etnis Tionghoa Kepulauan Riau tetap fasih menggunakan bahasa Mandarin sementara etnis Tionghoa di pulau Jawa mengalami keterputusan dengan bahasa leluhur mereka.

Kendati etnis Tionghoa Kepulauan Riau memiliki hubungan interlokal lintas batas negara dengan komunitas etnis Tionghoa di Singapura, Setijadi berpendapat bahwa kekuatan interlokalitas etnis Tionghoa di Kepulauan Riau justru memperkuat ikatan kultural dan politik dengan Indonesia. Di satu sisi mereka melakukan jejaring interlokal untuk keperluan bisnis, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, serta untuk menjaga identitas ketionghoaan mereka, namun pada saat yang bersamaan justru tetap mempertahankan lokalitas mereka sebagai orang Tionghoa Kepulauan Riau. Lyons dan Ford menemukan bahwa orang Tionghoa Kepulauan Riau tidak tertarik berpindah kewargaan meskipun Singapura menawarkan banyak kemudahan-kemudahan hidup. Kepulauan Riau tetap menjadi rumah bagi mereka, tempat leluhur bersemayam. Meski peluang untuk berpindah kebangsaan terbuka luas, identitas akar budaya sebagai orang Tionghoa Kepulauan Riau lebih dominan. Inilah yang memperkuat kekhasan etnis Tionghoa Kepulauan Riau dengan komunitas etnis Tionghoa lainnya di Indonesia.

Berefleksi dari kisah etnis Tionghoa dari garis tapal batas Kepulauan Riau, kita niscaya terbawa pada kesadaran yang dalam dua dasawarsa terakhir ini diungkap oleh berbagai penulis dalam negeri maupun mancanegara, yaitu bahwa etnis Tionghoa Indonesia sangatlah beragam. Konteks lokalitas dan interaksi sosial yang sudah terjalin dari sejak lama melahirkan kekhasan komunitas Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia. Kemauan untuk mengenal dan memahami keberagaman etnis Tionghoa Indonesia tentu akan membantu kita untuk keluar dari jebakan pemikiran yang menggeneralisasi, serta mengikis stereotipe-streotipe lama, yang seringkali dibangun berdasarkan pertanyaan yang semata-mata terkait identitas kebangsaan, tanpa mempertimbangkan kompleksitas yang tumbuh dalam sejarah.

Junianti Hutabarat, penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *