Asa Cina Memiliki Natuna

Asa Cina Memiliki Natuna

Ilustrasi. Angkatan Laut Filipina menuding coastguard China mengambil 'secara paksa' benda terapung yang mereka temukan di perairan Laut China Selatan. Foto: (Arsip Bakamla)
Ilustrasi. Angkatan Laut Filipina menuding coastguard China mengambil 'secara paksa' benda terapung yang mereka temukan di perairan Laut China Selatan. Foto: (Arsip Bakamla)

Kurang lebih satu bulan yang lalu, tepatnya pada minggu-minggu awal Januari 2023, sebuah kapal patroli Penjaga Pantai (coast guard) Republik Rakyat Cina, berikutnya disebut Cina saja, kembali memasuki wilayah perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Kapal yang menurut berbagai media merupakan kapal penjaga pantai terbesar di dunia tersebut melakukan patroli di sekitar perairan Natuna, dan tetap beraktivitas di seputar wilayah tersebut setidaknya hingga 12 Januari 2023 lalu. Merespons hadirnya kapal tersebut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) mengerahkan armadanya untuk berjaga-jaga. Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), pengerahan armada TNI AL perlu dilakukan untuk memantau keberadaan kapal patroli Penjaga Pantai Cina itu karena telah berada di wilayah ZEE Indonesia dalam kurun waktu cukup lama.

Terlepas dari tindakan preventif TNI AL kita, keberadaan kapal Penjaga Pantai Cina di perairan ZEE di dekat Kepulauan Natuna perlu untuk terus diperhatikan secara serius oleh masyarakat Indonesia. Apalagi masuknya aparat negara Cina ke dalam ZEE kita itu telah berulang kali terjadi sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Sejak tahun 2008 kapal-kapal penjaga pantai negara itu telah berkali-kali memasuki ZEE Indonesia di sekitar perairan Natuna. Mereka bahkan tak jarang melakukan intervensi ketika otoritas Indonesia berupaya melakukan penegakan hukum terhadap nelayan-nelayan asal Cina yang sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah di atas. Bahkan pada akhir tahun 2021, beberapa kapal Penjaga Pantai Cina itu menyambangi wilayah eksplorasi minyak blok Tuna, yang berada dalam ZEE Indonesia, dan mengganggu proses pengeboran di wilayah tersebut. Kehadiran kapal terbesar Penjaga Pantai Cina di wilayah yang kurang lebih sama pada Januari 2023 ini tampaknya juga memiliki keterkaitan dengan upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut oleh Indonesia. Pasalnya, kedatangan kapal penjaga pantai itu hanya berselang beberapa hari setelah Indonesia memberikan persetujuan pada perusahaan asal Inggris, Premier Oil, untuk melakukan rencana pengembangan eksplorasi sumber daya di wilayah tersebut.

Mengingat kerapnya frekuensi kehadiran kapal-kapal Penjaga Pantai Cina itu, wajar bila tak sedikit anggota masyarakat di Indonesia menyatakan kekhawatiran mereka. Ini karena berbagai manuver Cina di atas dapat kita interpretasikan sebagai tanda bahwa Cina berkeinginan untuk menguasai wilayah yang menjadi ZEE Indonesia tersebut. Perlu untuk dicatat, bahwa selain memiliki potensi sumber daya ikan—yang menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017 mencapai angka 767.126 ton per tahun—wilayah perairan Kepulauan Natuna juga kaya akan sumber energi. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi kandungan gas di Natuna Timur saja sudah berjumlah dua kali lipat dari blok Masela, Maluku. Namun sayangnya, bila kita memperhatikan perdebatan mengenai isu di atas di media sosial, kita melihat bahwa terdapat pula pendapat yang meragukan anggapan bahwa Cina berkeinginan untuk mengambil alih area di mana Indonesia memiliki hak berdaulat itu. Pendapat yang belakangan ini biasanya didasarkan pada argumen bahwa Cina adalah negara non-ekspansionis, yang tidak memiliki sejarah melakukan aneksasi terhadap negara lain. Terlepas dari benar atau tidaknya argumen di atas, argumen ini sangat menarik karena ia berbeda dari persepsi umum masyarakat Indonesia tentang Cina yang sudah berkembang setidaknya sejak tahun 1960-an. Namun, terlepas dari kemenarikan itu, pertanyaan yang juga penting untuk diajukan adalah, apakah argumen di atas, bila memang menyatakan sebuah kebenaran, dapat dijadikan landasan untuk meredakan kekhawatiran masyarakat terhadap manuver Cina di perairan sekitar Natuna? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan di atas.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya bagi kita untuk memahami lebih jelas mengenai klaim Cina di Laut Cina Selatan, yang dewasa ini ditandai dengan apa yang dikenal sebagai sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Klaim Cina atas pulau-pulau yang bertebaran di Laut Cina Selatan, setidaknya sebagian, sebenarnya telah muncul jauh sebelum negara Republik Rakyat Cina berdiri. Menurut Bruce Elleman, penulis buku berjudul China’s Naval Operations in the South China Sea: Evaluating Legal, Strategic, and Military Factors, pada 1907 seorang pimpinan angkatan laut Dinasti Qing bernama Sa Zhenbing memimpin sebuah ekspedisi angkatan laut untuk mengambil alih beberapa pulau yang kaya akan sulfur dan guano di Kepulauan Pratas dan Spartly dari tangan penambang-penambang ilegal. Masih menurut Elleman, beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1926, angkatan laut dari Republik Cina nasionalis membangun sebuah stasiun radio di Kepulauan Pratas. Belakangan, pada 1928, sebuah komite Cina yang diberi otoritas oleh pemerintah nasionalis memutuskan bahwa batas paling selatan dari teritori negara Cina adalah Kepulauan Parasel. Namun demikian, pada 1947, mereka memperluas klaim menjadi hampir seluruh Laut Cina Selatan, yang menurut kalkulasi mereka terdiri atas 162 unit pulau, sebagai milik Cina dan ditempatkan di bawah administrasi Provinsi Guangdong. Pemerintah nasionalis juga memproduksi sebuah peta yang di dalamnya terdapat 11 garis putus-putus (eleven dotted lines) untuk menandai klaim mereka atas Laut Cina Selatan.

Meski pemerintah Cina nasionalis pernah menerbitkan peta dengan 11 garis putus-putus di atas, tidak terdapat ketumpangtindihan wilayah antara Cina dan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku setelah berdirinya RRC pada 1949. Bahkan hingga saat ini, Indonesia tidak pernah merasa berbatasan langsung dengan Cina, dan tetap konsisten untuk tidak turut terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan. Namun bibit-bibit problem muncul di tahun 1993, ketika Cina menerbitkan sebuah peta yang di dalamnya mencakup sembilan garis putus-putus (nine-dash line) pada sebuah bengkel kerja (workshop) yang diselenggarakan pada bulan Juli tahun tersebut di Surabaya. Karena beberapa dari garis-garis di atas menyasar wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, Indonesia mengajukan pertanyaan kepada Cina. Jawaban Cina, yang selalu konsisten hingga dewasa ini, yaitu bahwa Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan bahwa Cina tidak memiliki sengketa kewilayahan dengan Indonesia. Jawaban di atas tentu tidak memuaskan pihak Indonesia. Apalagi bahkan sampai hari ini, belum terdapat kejelasan mengenai apa makna dari sembilan garis putus-putus di atas bagi Cina. Apakah garis-garis itu diartikan sebagai batas wilayah Cina? Ataukan merupakan tanda bagi wilayah di mana Cina merasa memiliki hak berdaulat?

Mingjiang Li, seorang ahli Cina yang berbasis di Singapura, menyampaikan bahwa terdapat kebingungan di kalangan pemerhati dan sarjana di luar Cina, dan bahkan di kalangan para sarjana di dalam negeri Cina sendiri. Sarjana luar Cina beranggapan bahwa Cina menganggap area di dalam sembilan garis putus-putus tersebut sebagai “perairan sejarah” (historic waters) mereka. Sementara kalangan sarjana Cina, termasuk para pakar hubungan internasional dari negeri itu, beranggapan bahwa wilayah yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu adalah wilayah di mana Cina memiliki hak-hak ekslusif. Masih menurut Mingjiang Li, posisi resmi pemerintah Cina adalah bahwa ia memiliki kedaulatan yang tak dapat dibantah atas kepulauan di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya, dan bahwa Cina memiliki hak berdaulat dan yuridiksi atas perairan, dasar laut, dan kandungan minyak yang relevan. Tampaknya, pandangan inilah yang juga diterapkan oleh Cina di wilayah ZEE kita di perairan Natuna.

Pernyataan “perairan, dasar laut, dan kandungan minyak yang relevan” inilah yang sepertinya diterapkan Cina pada perairan yang menjadi bagian dari ZEE Indonesia di dekat perairan Natuna. Ini terlihat misalnya, dari pernyataan seorang diplomat kedutaan besar Cina di Jakarta, sebagaimana diberitakan oleh sebuah media terkemuka di Indonesia. Seperti dikutip dalam media tersebut, Cina menganggap bahwa kapal Penjaga Pantai yang memasuki perairan dekat kepulauan Natuna baru-baru ini “masih berada di wilayah yuridis Cina.”  Selain itu, meski hingga saat ini tetap konsisten menegaskan bahwa Cina tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan Indonesia di Kepulauan Natuna, mereka menyatakan bahwa terdapat tumpang tindih terkait hak kelautan antara Cina dan Indonesia.  Kementerian Luar Negeri Cina pada tahun 2020, misalnya, menyatakan bahwa: “China and Indonesia don’t have disputes over territorial sovereignty. We have overlapping claims of maritime rights and interests in some areas in the South Cina Sea.” (Cina dan Indonesia tidak memiliki sengketa terkait kedaulatan teritorial tetapi kami memiliki klaim yang tumpang tindih terkait hak-hak maritim dan kepentingan di beberapa wilayah di Laut Cina Selatan). Pernyataan yang sama pernah disampaikan pula pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya pada tahun 2018.

Pernyataan di atas kiranya cukup membuktikan bahwa, berbeda dengan posisi Indonesia, Cina menganggap bahwa mereka memiliki klaim yang tumpang tindih dengan Indonesia terkait hak berdaulat di perairan dekat Kepulauan Natuna. Atau dengan kata lain, Cina menganggap bahwa mereka memiliki hak berdaulat di wilayah perairan dekat Kepulauan Natuna. Bisa jadi Cina memang tidak memiliki keinginan untuk memperluas wilayah mereka dan mengambil alih Kepulauan Natuna. Akan tetapi, Cina menganggap sebagian dari wilayah ZEE Indonesia di perairan itu sebagai wilayah Cina juga. Hal inilah yang harus dipahami oleh masyarakat Indonesia sehingga alih alih tenggelam pada argumen bahwa Cina tidak mungkin mencaplok Natuna, mereka semua justru perlu mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mengawal kedaulatan dan hak berdaulat NKRI di Perairan Natuna—yang kaya akan ikan dan sumber daya energi di bawah laut—dan wilayah-wilayah lainnya. Masyarakat Indonesia seyogianya memberikan apresiasi pada setiap upaya yang dilakukan oleh institusi-institusi negara, seperti TNI AL yang telah memberikan respons yang cepat dan akurat untuk mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia, baik di perairan Natuna maupun di wilayah-wilayah lain di Nusantara kita.  

Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia, Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *