Hubungan Vietnam dan Tiongkok Era Kekinian: Antara Peluang dan Tantangan

Hubungan Vietnam dan Tiongkok Era Kekinian: Antara Peluang dan Tantangan

Xi Jinping, sekretaris jenderal Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan presiden Tiongkok, bertemu dengan Truong Thi Mai, anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Vietnam (CPV), anggota tetap Sekretariat Komite Pusat CPV dan ketua Komisi Organisasi Komite Pusat CPV, di Beijing, ibu kota Tiongkok, 26 April 2023. (Xinhua/Xie Huanchi)
Xi Jinping, sekretaris jenderal Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan presiden Tiongkok, bertemu dengan Truong Thi Mai, anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Vietnam (CPV), anggota tetap Sekretariat Komite Pusat CPV dan ketua Komisi Organisasi Komite Pusat CPV, di Beijing, ibu kota Tiongkok, 26 April 2023. (Xinhua/Xie Huanchi)

Presiden sekaligus Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping bertemu dengan Truong Thi Mai, anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Vietnam (CPV) di Beijing, 26 April 2023. Pada kesempatan tersebut, Presiden Xi menyatakan bahwa upaya maksimal harus dilakukan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan kedua partai, menjaga stabilitas dan pembangunan nasional, dan tetap berkomitmen pada perdamaian dan kemajuan umat manusia.1 Xi juga menghimbau agar kedua pihak memperkuat solidaritas dan kerja sama dalam urusan internasional, dengan tegas menentang hegemoni dan konfrontasi blok, menjaga perdamaian dan pembangunan regional, serta bekerja sama untuk membangun komunitas demi masa depan bersama.2

Sementara itu, Truong menegaskan kembali komitmen negaranya untuk meningkatkan komunikasi antara kedua partai. Truong juga menegaskan komitmen Vietnam untuk bersinergi, baik dalam proyek “Belt and Road Initiative” yang digagas Tiongkok maupun “Two Corridors and One Economic Circle” yang dicetuskan Vietnam, guna mempererat hubungan kedua partai dan kedua negara di bawah naungan sosialisme.3 Pertemuan keduanya menarik untuk dicermati mengingat Tiongkok dan Vietnam adalah dua negara Asia yang secara politik “dinakhodai” oleh partai komunis namun juga mempraktikkan ekonomi pasar. Yang lebih menarik lagi, meskipun kedua negara sekilas terlihat memiliki banyak kesamaan, dinamika hubungan keduanya sangat kompleks. Hubungan keduanya pernah beberapa kali mengalami ketegangan, khususnya terkait tumpang tindih pengakuan kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan. Apakah pertemuan keduanya menunjukan indikasi bahwa Vietnam memilih untuk cenderung mendekat kepada Tiongkok? Tulisan pendek ini akan mendiskusikan pertanyaan di atas. Artikel ini akan dimulai dengan penggambaran sejarah singkat hubungan kedua negara. Berikutnya, artikel ini akan mendiskusikan dinamika hubungan keduanya, serta tantangan yang dihadapi keduanya terkait situasi geopolitik kawasan. Akhirnya, diskusi yang membahas jawaban dari pertanyaan di atas akan dihadirkan di bagian akhir dari tulisan singkat ini.

Dinamika Sejarah Hubungan Vietnam dan Tiongkok

Catatan sejarah Vietnam berpaut pada Tiongkok karena selama kurang lebih seribu tahun Vietnam menjadi negara vasal dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Tak mengherankan ketika Vietnam berdiri sebagai entitas independen pada abad ke-10 Masehi, pengaruh Tiongkok masih sangat kental dalam segala aspek kehidupan. Menurut Le Hong Hiep, senior fellow pada ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura, keterkaitan sejarah antara kedua negara dibentuk oleh tiga faktor: kedekatan geografis, hubungan asimetris, serta perkembangan politik domestik dan kondisi sosial-ekonomi masing-masing negara.4 Masih menurut Le, kedekatan geografis tersebut seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, Vietnam mendapatkan keuntungan dari kekayaan budaya Tiongkok yang sedikit banyak membentuk perkembangan Vietnam sebagai negara kebangsaan (nation state). Di sisi lain, Vietnam kerap menjadi sasaran politik ekspansionis dinasti yang silih berganti memimpin Tiongkok. Sementara itu, hubungan asimetris yang terbangun dari fakta bahwa luas wilayah dan kekuatan Vietnam jauh lebih kecil daripada Tiongkok membuat negara itu bersedia memberikan penghormatan nominal kepada Tiongkok demi perdamaian dan pembangunan internal, namun tetap siap melawan ancaman setiap kali Tiongkok memaksakan kehendaknya ke negara tersebut. Dengan demikian, diskursus keamanan nasional Vietnam secara tradisional selalu didominasi oleh kerapuhan akan ancaman dari negara tetangganya di sebelah utara.

Sementara itu, analis senior dari Australian Strategic Policy Institute, Huong Le Thu mendeskripsikan hubungan Vietnam dan Tiongkok sebagai sebuah persahabatan yang rapuh (a fragile comradeship)5. Sementara interaksi antara kedua negara sudah berlangsung ribuan tahun, relasi keduanya sudah mengalami beberapa kali siklus perburukan yang kemudian diikuti oleh normalisasi hubungan. Menurut analisis Huong, momen saat ini bisa dibilang salah satu titik terendah dalam hubungan sejak tahun 1980-an. Selama dasawarsa yang penuh gejolak itu, kedua negara bertetangga itu bertempur di perbatasan darat (tahun 1979) dan di laut lepas ketika Tiongkok merebut apa yang oleh Vietnam disebut Terumbu Gạc Ma (juga dikenal sebagai Johnson South Reef atau Terumbu Chigua) pada tahun 1988, yang mengakibatkan korban di pihak Vietnam.6 Fase genting tersebut berakhir dengan normalisasi hubungan pada 1991. Namun demikian, masih menurut Huong, yang patut diingat adalah saat itu posisi Vietnam dalam panggung diplomasi dunia berbeda jauh dengan situasi kini. Satu-satunya sekutu Vietnam saat itu—Uni Soviet—baru saja runtuh, dan Hanoi masih sangat terisolasi dari komunitas internasional lainnya. Vietnam belum menjadi bagian dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), juga belum menormalisasi hubungan dengan Amerika Serikat (AS). Akibatnya, negara tersebut masih terisolasi secara diplomatik, mendapat bantuan pembangunan yang sangat terbatas, dan harus menghadapi embargo perdagangan yang memutusnya dari banyak negara maju.7 Perbaikan hubungan dengan Tiongkok dapat dilihat sebagai sebuah kompromi dari pihak Vietnam, termasuk dengan memperbaharui kebijakan keamanan nasional yang dikenal dengan “Tiga Tidak”: tidak membentuk aliansi militer, tidak bersekutu untuk melawan negara lain, dan tidak mengizinkan negara lain membuat pangkalan militer di wilayah Vietnam. Pada tataran tertentu, kebijakan tersebut dirancang untuk meyakinkan Beijing bahwa Hanoi tidak akan berusaha menimbulkan ancaman apa pun ke wilayah pinggiran Tiongkok.

Namun demikian, titik terendah hubungan kedua negara kali ini, yang lagi-lagi dipicu oleh perselisihan soal perbatasan di Laut Cina Selatan, terjadi ketika kedua negara sudah berada dalam posisi yang jauh berbeda. Sejak 2012, di bawah kepemimpinan Hu Jintao, Tiongkok menekankan niatnya untuk menjadi kekuatan maritim sejalan dengan kekuatan ekonominya. Dengan latar belakang perselisihan teritorial yang membara dengan tetangganya, Presiden Hu mengindikasikan Tiongkok akan terus menegaskan klaimnya yang disengketakan atas wilayah maritim.8 Setelah Xi Jinping menggantikan posisi Hu sebagai pemimpin tertinggi Tiongkok pada tahun yang sama, negara itu menjadi lebih tegas dalam mengejar domain maritim yang ia klaim melalui kegiatan reklamasi, militerisasi, dan koersi di wilayah perairan yang ia klaim.9 Di lain pihak, Vietnam pada kurun waktu yang sama juga menjelma menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan, setidaknya di level kawasan Asia Tenggara. Menurut pengamatan senior fellow pada ISEAS – Yusof Ishak Institute William Choong, sejak 1986, ketika Vietnam menerapkan kebijakan “reformasi dan inovasi” (doi moi), kebijakan diplomasinya dipengaruhi oleh empat tema besar, yaitu: diversifikasi dan mutlilateralisasi hubungan luar negeri, membela kepentingan nasional melalui kerja sama dan perjuangan, aktif mengintegrasikan diri di kancah internasional, dan mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, dan otonomi strategis.10 Kebijakan tersebut membawa Vietnam ke dalam kerja sama strategis dan komprehensif dengan negara-negara “kekuatan menengah” di kawasan Indo-Pasifik, seperti Australia, India, Jepang, dan Korea Selatan, tanpa perlu membuat aliansi formal demi mencegah amarah Beijing. Sementara itu, sejak normalisasi hubungan dengan AS tahun 1995, hubungan Vietnam dengan negara adikuasa itu semakin erat. Masih menurut Choong, hubungan kedua negara tersebut didukung oleh persepsi bersama tentang ancaman Tiongkok, serta sesuai dengan pandangan Vietnam yang umumnya mendukung tatanan regional dan global pimpinan AS.11 Persepsi positif terhadap AS juga dapat diamati pada level akar rumput. Menurut Survei Negara Asia Tenggara 2021 oleh ISEAS –Yusof Ishak Institute, di antara warga Asia Tenggara, Vietnam adalah yang paling khawatir terhadap tindakan Tiongkok dan yang paling ramah terhadap peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat dan kekuatan lain di Laut Cina Selatan.12 Meskipun demikian, hubungan yang semakin dekat dengan AS ini tidak berarti Vietnam serta merta melupakan hubungannya dengan Tiongkok. Kemampuan Vietnam dalam menjaga keseimbangan hubungan antara dua kekuatan utama dunia ini justru menarik untuk diamati.

Mempertahankan Kemandirian di Tengah Pengaruh Kekuatan Besar Dunia

Masalah klaim teritorial antara Tiongkok dan Vietnam yang memperburuk hubungan kedua negara dewasa ini sebetulnya sudah terjadi cukup lama. Salah satu insiden pemicu perburukan relasi tersebut adalah insiden Haiyang Shiyou 981. Pada 2 Mei 2014, China National Offshore Oil Corporation secara sepihak memindahkan anjungan pengeboran minyak lepas pantai Haiyang Shiyou 981 dekat Kepulauan Paracels, yang diklaim oleh kedua negara, ke wilayah yang oleh hukum internasional ditetapkan sebagai wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam.13 Sebagai respons, Vietnam mengirimkan kapalnya untuk mengintervensi dan Tiongkok membalas dengan tindakan yang sama.14 Ketegangan baru berakhir ketika Tiongkok menarik diri pada bulan Juli 2014.15

Menurut analisis pengamat Paul J. Leaf, langkah Tiongkok di atas tidak dapat dipisahkan dari konteks persaingan pengaruh dengan AS. Tiongkok berusaha memakai strategi di atas untuk menguji sejauh mana AS akan bertindak, mengingat tindakan bertentangan yang dilakukan AS beberapa waktu sebelumnya. Di satu sisi, AS menjanjikan bantuan di bidang kelautan kepada Vietnam, serta menegaskan kembali kerja sama pertahanan dengan Jepang dan Filipina. Di lain pihak, China juga menyaksikan respons AS yang “malu-malu” terhadap pencaplokan wilayah Crimea oleh Rusia.16 Bagaimanapun juga, reaksi cepat dan tegas Vietnam dalam menghadapi tindakan asertif Tiongkok itu dinilai sangat tepat oleh sejumlah kalangan.17 Bahkan, Vietnam juga mengancam akan menempuh jalur hukum jika Tiongkok terus melakukan aktivitas ilegal di ZEE-nya. Di samping itu, Vietnam juga gencar menjalankan strategi internasionalisasi isu Laut Cina Selatan, salah satunya dengan menjalin hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan regional dan global, seperti telah diuraikan di atas. Namun demikian, sikap tegas dalam suatu isu dengan Tiongkok tidak lantas membuat Vietnam membekukan hubungan dengan negara tetangga dekatnya itu.

Alih-alih memutuskan hubungan, Vietnam justru terus membuka jalur komunikasi resmi dengan Tiongkok, baik pada level negara maupun partai, dalam hal ini partai komunis yang memerintah di kedua negara. Seperti digambarkan pada awal artikel, kesamaan ideologi menjadi salah satu titik temu dalam relasi kedua negara. Demikian pula ketika Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengunjungi Vietnam pada September 2021, ia menekankan afinitas ideologi sebagai landasan untuk meningkatkan kerja sama kedua negara.18 Keluwesan Vietnam dalam menjaga keseimbangan hubungan antara kekuatan besar dunia, yaitu Tiongkok dan AS, ini dipandang pengamat sebagai suatu hal yang sangat positif. Vietnam memiliki kemampuan untuk memaksimalkan keuntungan dari dua kekuatan, sekaligus mengadopsi strategi melindungi diri dengan tetap menjaga jarak aman dari mereka.19 Pilihan Vietnam untuk “tidak memihak” antara Tiongkok dan AS digambarkan sebagai keputusan untuk tidak memilih terpaku pada hasil akhir tertentu. Akan tetapi, ia tetap mempertahankan kebebasan untuk bergerak di tengah kompleksitas dan multipolaritas. Ini memperlihatkan bahwa Vietnam adalah sebuah negara yang mengetahui kepentingannya sendiri dan mengambil posisi yang sesuai sehingga tidak memungkinkan negara lain untuk mendikte kepentingan nasionalnya.20 Tentu saja, strategi Vietnam dalam menghadapi pengaruh kekuatan-kekuatan besar global ini patut menjadi bahan referensi bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Referensi


  1. Xinhua, “Xi meets with senior CPV official,” 26 April 2023, https://english.news.cn/20230426/8551577000fc4328835af8f199d01d44/c.html
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. Le Hong Hiep, Living Next to the Giant: The Political Economy of Vietnam’s Relations with China under Doi Moi, (Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2017), 1–4.
  5. Huong Le Thu, “Rough Waters Ahead for Vietnam–China Relations,” Carnegie Endowment for International Peace, 30 September 2020, https://carnegieendowment.org/2020/09/30/rough-waters-ahead-for-vietnam-china-relations-pub-82826
  6. Ibid.
  7. Ibid.
  8. AFP, “China should become ‘maritime power’, Hu Jintao says,” South China Morning Post, 8 November 2012, https://www.scmp.com/news/china/article/1077858/china-should-become-maritime-power-hu-jintao-says
  9. Huong, “Rough Waters”
  10. William Choong, “Vietnam and the Great Powers: Agency Amid Amity and Enmity,” Perspective No. 62 (2021).
  11. Ibid.
  12. Hoang Thi Ha dan Le Huong Hiep, “Wang Yi’s Visit to Vietnam: Reasserting Influence, Regaining Balance,” Perspective No. 124 (2021).
  13. Adam Taylor, “The $1 billion Chinese oil rig that has Vietnam on flames,” The Washington Post, 14 Mei 2014, https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2014/05/14/the-1-billion-chinese-oil-rig-that-has-vietnam-in-flames/
  14. Reuters, “China: Vietnamese vessels rammed its ships more than 1,000 times,” CNBC, 9 Juni 2014, https://www.cnbc.com/2014/06/09/china-vietnamese-vessels-rammed-its-ships-more-than-1000-times.html
  15. David Stout, “China Removes Contentious Oil Rig From Waters Claimed by Vietnam,” Time, 16 Juli 2014, https://time.com/2990590/oil-rig-leaves-contested-waters-vietnam-china/
  16. Paul J. Leaf, “Learning From China’s Oil Rig Standoff With Vietnam,” The Diplomat, 30 Agustus 2014, https://thediplomat.com/2014/08/learning-from-chinas-oil-rig-standoff-with-vietnam/
  17. Choong, “Vietnam and the Great Powers”; Hoang dan Le, “Wang Yi’s Visit”; Huong, “Rough Waters”
  18. Hoang dan Le, “Wang Yi’s Visit”
  19. Choong, “Vietnam and the Great Powers”
  20. Bilahari Kausikan, “ASEAN’s Agency in the Midst of Great Power Competition”, Australian Institute of International Affairs, 30 October 2020, https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/aseans-agency-in-the-midst-of-great-powercompetition/

Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *