Loyalitas Tionghoa, Isu Lama Yang Belum Terselesaikan

Loyalitas Tionghoa, Isu Lama Yang Belum Terselesaikan

Beberapa tahun berselang, dalam sebuah pertemuan makan siang, seorang mantan diplomat senior menceritakan pengalamannya mendampingi para pejabat tinggi negara kita mengunjungi Republik Rakyat China. Dalam rombongan tersebut, terdapat pula perwakilan dari komunitas bisnis di Indonesia, termasuk di dalamnya para pengusaha etnik Tionghoa. Dalam kunjungan tersebut, delegasi Indonesia menggagas diadakannya pertemuan dengan para pejabat negara tuan rumah. Karenanya, dirancanglah sebuah acara, yang desainnya dipersiapkan oleh seorang pengusaha Tionghoa terkemuka. Namun, dalam pandangan sang diplomat, desain sang pengusaha seolah lebih mewakili kepentingan China. “Desain seperti inilah yang China inginkan,” seloroh sang diplomat. Meski tak mengungkapkan secara verbal, sang diplomat senior memperlihatkan sikap yang mempertanyakan keberpihakan sang pengusaha. Seolah-olah ia bertanya, “Apakah anda berada di pihak Indonesia atau China?”

Pada kesempatan yang berbeda, seorang pejabat eselon pada sebuah lembaga pemerintah bertutur mengenai perbincangannya dengan seorang tokoh penting dalam komunitas Tionghoa. Topik dari perbincangan tersebut adalah mengenai tingkah laku otoritas China yang melindungi kapal – kapal nelayannya memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia di bagian utara kepulauan Natuna. Menurut sang pejabat senior, alih-alih melakukan kritik, tokoh Tionghoa di atas justru berupaya meyakinkan sang pejabat bahwa China tidak akan mencaplok wilayah Indonesia di kepulauan Natuna. Namun bagi sang pejabat, yang kini telah memasuki usia purna bakti tersebut, pernyataan sang pemimpin komunitas Tionghoa yang terkesan melakukan pembelaan terhadap China itu berpotensi memperkuat sikap negatif di kalangan pejabat pemerintah, yang menurutnya masih sedikit banyak memiliki pertanyaan terkait sikap dari masyarakat Tionghoa di Indonesia. Berdasarkan pengamatan sang pejabat, pertanyaan mengenai di pihak mana Tionghoa Indonesia berpijak masih menggema di antara para koleganya.

Isu mengenai keberpihakan orang Tionghoa bukanlah sebuah isu yang baru saja mencuat akhir – akhir ini. Keraguan terhadap loyalitas Tionghoa telah muncul setidaknya sejak tahun – tahun awal era kemerdekaan Indonesia. Di akhir tahun 1950 – an, misalnya, A.J Muaja menulis bahwa orang – orang Tionghoa sebagian besar tidak pernah merasa begitu menyatu dengan Indonesia sehingga mereka menempatkan diri sepenuhnya selaras dengan kepentingan nasional Indonesia. Sebaliknya, menurut Muaja, Tionghoa selalu berada entah di pihak penjajah Belanda, ataupun tetap setia pada China. Masih di dasawarsa 1950 – an, Mr. Assaat, salah seorang pemimpin bangsa pada era menjelang dan pasca kemerdekaan, bercerita bahwa Tionghoa, yang datang dari negara asal mereka untuk penghidupan yang lebih baik, malah digunakan oleh Belanda sebagai alat untuk menghambat arus kemajuan dari kalangan bumiputra. Belakangan, setelah pemerintahan Orde Baru (Orba) berdiri, kecurigaan bahwa Tionghoa berpotensi digunakan oleh China sebagai “kolone ke lima” untuk mendukung kepentingan China di Indonesia merebak di kalangan elit Orba. Agaknya kecurigaan inilah, beserta berbagai stereotip negatif lainnya, yang menyebabkan pemerintah Orba membuat berbagai kebijakan diskriminatif terhadap Tionghoa. Namun uniknya, sembari melanggengkan pandangan yang meliyankan komunitas Tionghoa, Orba justru mendorong mereka untuk berkecimpung di dunia bisnis. Sikap ambigu ini menjadikan Tionghoa di Indonesia sebagai kelompok yang menurut beberapa sarjana Barat “memiliki kekuatan ekonomi, namun sangat rentan secara politik.” “Merekalah yang akan menjadi korban pertama bila terjadi kegoncangan politik di negeri ini,” seloroh A. Dahana, ahli China kawakan yang kini bermukim di negeri Paman Sam.

Kecurigaan terhadap loyalitas Tionghoa tentu bukan tanpa alasan. Berbagai peristiwa dalam sejarah telah memperkokoh sikap antipati terhadap Tionghoa, yang sejatinya telah muncul sejak dasawarsa – dasawarsa awal abad yang lalu, dan seringkali berujung pada kekerasan. Salah satunya adalah sikap dari sebagian elit Tionghoa, yang pada era kolonial Belanda, lebih condong untuk menegaskan identitas mereka entah sebagai warga negara Republik China yang berada di bawah Partai Nasionalis China ataupun sebagai warga kolonial Belanda, ketimbang memberi dukungan bagi perjuangan kebangsaaan yang dicanangkan oleh para pemuda dan kaum intektual dari masyarakat yang populer dengan sebutan pribumi. Pada sisi lain, sebagai diuraikan oleh Zhou Taumo, Partai Nasionalis yang saat itu berkuasa di China, menganggap Tionghoa perantuan, termasuk Tionghoa Indonesia, sebagai aset manusia bernilai sangat tinggi. Oleh karenanya, menurut Zhou, Partai Nasionalis membentuk Departemen Urusan Seberang Lautan untuk mengelola masyarakat Tionghoa perantauan ini. Mereka mengakui masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai warga China Nasionalis sehingga pada periode awal kemerdekaan, terjadi ketegangan antara pemerintah China Nasionalis dengan otoritas Republik Indonesia. Masih menurut Zhou, China Nasionalis bahkan menganjurkan Tionghoa Indonesia untuk bersikap netral dalam konflik antara pejuang Indonesia dengan Belanda, antara lain dengan mengibarkan bendera Republik China. Dalam pandangan Zhou, ini memperkuat kecurigaan pemimpin Indonesia terhadap Tionghoa. Kecurigaan ini diperparah oleh berdirinya satuan keamanan komunitas Tionghoa (populer dengan sebutan Pao An Tui) yang oleh para pejuang Republik Indonesia dinilai sebagai kolabolator Belanda, serta munculnya kejadian – kejadian di mana para pedagang Tionghoa menolak himbauan para pejuang Indonesia untuk melakukan boikot dengan tidak melakukan penjualan pada pasukan sekutu yang kembali datang ke Indonesia.

Tentu cerita di atas hanya merupakan gambaran tak lengkap dari apa yang terjadi pada masa lalu. Pada sisi lain dari gambaran di atas, terdapat cukup banyak orang Tionghoa Indonesia yang secara tegas menyatakan keberpihakan mereka pada tanah tempat mereka lahir: Indonesia. Sebagai diceritakan Leo Suryadinata, bahkan pada awal dasawarsa 1930 an, telah terdapat sebuah partai Tionghoa, yaitu Partai Tionghoa Indonesia, yang menunjukan dukungan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soemarsono, salah seorang tokoh pemuda yang pada November 1945 turut memipin perjuangan melawan pasukan Inggris, pernah bercerita kepada penulis bahwa di antara pasukan yang ia pimpin, terdapat satu kompi yang menurut beliau beranggotakan orang –  orang Tionghoa. Selain itu, terdapat pula tak sedikit nama nama Tionghoa yang telah berperan dalam sejarah Indonesia, baik pada masa perjuangan kemerdekaan, maupun pada periode – periode sesudahnya, bahkan hingga saat ini.

Sayangnya kehadiran nama nama tersebut tidak melenyapkan pertanyaan terkait keberpihakan Tionghoa, sebagai digambarkan pada awal tulisan ini. Dalam serangkaian pembicaraan dengan sejumlah tokoh beberapa tahun lalu, penulis seringkali menjumpai kekhawatiran mengenai apakah Tionghoa akan berada di sisi Indonesia, atau berpihak pada China bila terjadi konflik kepentingan antara Indonesia dan China. Sebagai contoh, mengenai bangkitnya politisi Tionghoa dalam dua dasawarsa terakhir, seorang purnawirawan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia bertanya, “apakah mereka akan mengabdi pada Indonesia, atau kah akan mendengar perintah dari Beijing”? Kecurigaan serupa juga muncul dalam pandangan beberapa tokoh lainnya.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memberikan baik dukungan atau bantahan terhadap pertanyaan terkait keberpihakan Tionghoa di atas. Tulisan ini juga tidak ditujukan untuk mengusulkan cara untuk secara perlahan melenyapkan pertanyaan di atas. Cukuplah sudah bagi tulisan ini, bila ia dapat menggambarkan bahwa pertanyaan tentang loyalitas orang Tionghoa, masih tetap langgeng dan rentan untuk muncul kembali. Ia merupakan sebuah pertanyaan yang belum terselesaikan, entah sampai kapan.

Penulis adalah pemerhati Hubungan Indonesia – China dan masyarakat Tionghoa di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *