Perubahan Sikap Geopolitik Tiongkok, Reaksi Barat, Dan Sikap Indonesia

Perubahan Sikap Geopolitik Tiongkok, Reaksi Barat, Dan Sikap Indonesia

Situasi geopolitik dunia yang belum sepenuhnya pulih setelah diterpa pandemi Corona Virus 2019 (Covid-19) masih tidak menentu akibat terjadinya konflik terbuka di Eropa antara Rusia dan Ukraina semenjak tahun 2022. Memasuki tahun 2023, situasi dunia di atas diperparah oleh konflik terbuka antara Israel dan Hamas di Timur Tengah.  Apabila titik panas konflik ini menjalar ke Asia Pasifik yang merupakan mesin utama penggerak ekonomi dunia, besar kemungkinan bencana geopolitik akan melanda dunia.

Namun, patut disayangkan bahwa potensi terjadinya konflik di wilayah Asia Pasifik akhir-akhir ini tampaknya semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah sikap geopolitik Republik Rakyat Tiongkok yang dalam tahun-tahun belakangan ini berkembang menjadi lebih asertif, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Deretan tindakan provokasi Tiongkok terhadap Filipina di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara kepulauan Asia Tenggara itu di sepanjang tahun 2023 hanyalah salah satu contoh dari ketegangan yang terjadi antara Tiongkok dan negara-negara lain di kawasan ini. Yang lebih mengkhawatirkan, sikap agresif Tiongkok di atas memancing respons dari negara-negara Barat, yang antara lain berupa pembentukan aliansi keamanan. Perkembangan di atas tentu semakin meningkatkan resiko terjadinya konflik terbuka di Asia Pasifik.

Dalam percaturan geopolitik dunia, Indonesia sebagai negara yang menduduki posisi strategis dengan jumlah penduduk yang besar memang belum memiliki daya tawar yang cukup kuat terutama dari segi hard power.1 Meski demikian, Indonesia tidak pernah absen dalam mewarnai dinamika geopolitik regional dan global. Apalagi pada tahun 2022 lalu, Indonesia baru saja menduduki posisi sebagai presiden dari organisasi negara-negara yang dinamakan sebagai kelompok dua puluh (G-20). Atas dasar hal ini, pertanyaan mengenai  bagaimana sebaiknya Indonesia bersikap dalam menghadapi transformasi kebijakan geopolitik Tiongkok menjadi sebuah pertanyaan yang menarik dan penting untuk diajukan. Setara dengan itu, persoalan mengenai bagaimana sebaiknya Indonesia berperan agar bisa ikut aktif mempertahankan kawasan Asia Tenggara yang damai di tengah potensi ketegangan di atas juga penting untuk ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan singkat ini.

Filosofi perang Tiongkok vs Barat

Pada tahun 2006 muncul sebuah buku menarik yang ditulis oleh William H. Moth IV dan Jae Chang Kim dengan judul The Philosophy of Chinese Military Culture: Shih vs Li. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa filsafat militer Tiongkok memiliki cara pandang yang secara mendasar berbeda dengan konsep Barat.2 Dalam falsafah Barat konsep ends, means and ways sangat berakar, dalam konsep ini pihak yang menggunakan proses ends, means and ways diharapkan memegang inisiatif sehingga situasi dan lawan dipaksa mengikuti kehendak inisiator, pemikiran Clausewitz yang sangat berpengaruh di Barat juga memakai pendekatan ini.3 Salah satu contoh yang memperlihatkan penerapan strategi militer berdasarkan falsafah di atas adalah bagaimana Barat memenangkan Perang Dunia (PD) II dengan segenap kekuatan militernya. Namun menurut penjelasan dosen National Defence University, Amerika Serikat, Sean McFate, dalam tulisan berjudul The New Rules of War, sejak berakhirnya PD II Amerika Serikat (AS) dan sekutunya tidak lagi benar-benar berhasil secara penuh dalam penggunaan kekuatan militer mereka. Masih menurut McFate, apa yang dialami oleh negara-negara Barat dalam keterlibatan mereka di Korea, Vietnam, Irak dan Afghanistan memperlihatkan bagaimana strategi penggunaan kekuatan militer belaka tak lagi ampuh.4

Berbeda dengan falsafah Barat di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Sun Tzu, Tiongkok memiliki cara pandang yang berbeda terhadap penggunaan kekuatan militer. Pendekatan yang diambil oleh Tiongkok tersebut dikenal dengan sebutan xingshi (形勢) atau formless situation.5 Pendekatan ini didasarkan pada falsafah yang menekankan pada pandangan bahwa untuk bertahan dan kemudian mengalahkan lawan dibutuhkan kemampuan beradaptasi dengan situasi ibarat dinamika air mengikuti sungai. Berdasarkan pandangan ini, saat menemukan momentumnya kemampuan adaptasi tersebut akan menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.6 Konsep xingshi ini bertolak belakang dengan li. Konsep yang belakangan ini dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuatan secara terbuka, yang sejatinya sejiwa dengan konsep ends, means and ways, yang menekankan pada kekuatan materil inisiator sehingga diasumsikan bisa memaksakan kehendaknya pada lawan.7 Berbeda dengan li, xingshi menekankan pada pencapaian keserasian terhadap dao, atau tatanan alam semesta, yang dalam tataran mikro diterapkan pada tatanan masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, konsep ini membutuhkan suatu totalitas kesatuan masyarakat untuk mewujudkan cita-citanya.8 Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa konsep xingshi secara inheren berlandaskan pada deception sebagai komponen utama, berbeda dengan konsep Barat yang melihat deception hanya sebagai pelengkap.9

Penerapan falsafah di atas terlihat jelas dalam sepak terjang Tiongkok, khususnya sejak negeri itu mencanangkan reformasi ekonominya pada akhir 1970-an. Alih-alih memperlihatkan kesombongan atau kekuatan seiring dengan peningkatan kekuatan ekonomi yang dicapainya, Tiongkok justru menundukkan diri agar tidak dilihat oleh pihak-pihak manapun, terutama oleh negara-negara Barat, sebagai ancaman.10 Falsafah yang dikenal dengan istilah: lengjing guancha, wenzhu zhenjiao, chenzhuo yingfu, taoguang yanghui, yousuo zuowei (冷静观察、稳住阵脚、沉着应付、韬光养晦、有所作为) ini seringkali diartikan sebagai sikap yang menjaga kerendahan hati.11 Sikap yang secara ringkas biasanya disebut dengan istilah taoguang yanghuo ini diterapkan sejak kepemimpinan Deng Xiaoping dan terus bertahan hingga pemimpin Tiongkok generasi-generasi selanjutnya. Bahkan ketika Tiongkok sedang berada dalam era kebangkitannya, Hu Jintao, mantan presiden Tiongkok yang dikenal sebagai pemimpin generasi keempat, berupaya memopulerkan ‘perkembangan yang damai’ (peaceful development), alih-alih menggunakan istilah ‘kebangkitan.’12

Namun, sebuah perubahan sikap tampaknya terjadi pascakrisis finansial dunia tahun 2008, yang menghadirkan guncangan ekonomi di negara-negara Barat. Tiongkok, yang berhasil mengendalikan situasi dalam krisis tersebut, berubah menjadi semakin asertif di panggung internasional, meskipun masih tidak seagresif Rusia.13 Memang, sejak bergabung dengan World Trade Organization (WTO) semenjak tahun 2001, Tiongkok telah menjadikannya kekuatan ekonomi dunia yang tidak bisa dikesampingkan.14 Dalam perkembangannya, khususnya sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kepemimpinan Tiongkok, negeri itu bahkan semakin menunjukkan ambisi geopolitik yang dominan.15 Akibatnya, beberapa tahun belakangan AS melancarkan perang dagang, dan bahkan menjepit Tiongkok melalui pembangunan aliansi dengan sekutunya yang mencakup kekuatan militer, seperti AUKUS (Australia, United Kingdom, and United States).16

Namun, meski kini Tiongkok makin terlihat memiliki ambisi geopolitik, ia masih berupaya menerapkan falsafah xingshi dalam menghadapi himpitan negara-negara Barat di atas. Ini terlihat dari upaya Tiongkok melebarkan sayapnya dengan membantu negara-negara yang kurang sejalan dengan Barat di Afrika, Asia, dan bahkan kepulauan Pasifik.17 Tiongkok juga telah menjembatani dialog Arab Saudi dan Iran sebagai caranya menunjukkan eksistensinya di percaturan geopolitik Timur Tengah.18 Namun di balik uluran tangan persahabatan, Tiongkok di bawah kendali penuh Partai Komunis ternyata juga telah cukup berhasil memecah berbagai organisasi kerja sama kawasan dengan tawaran hubungan bilateral yang menguntungkan terutama dari segi ekonomi yang menggunakan kekuatan sovereign leverage funds-nya.19 Bahkan, ada negara yang terlena dengan tawaran kerjasama tersebut sehingga mengalami ancaman kebangkrutan yang mengerikan.20 Sekilas, strategi yang digunakan Tiongkok di atas merupakan penerapan battle of annihilation, yaitu tahapan tertentu dalam konsep xingshi yang berupa cara mendorong lawan mengikuti kehendaknya daripada sekadar untuk menghancurkan lawan.21

Namun yang patut disayangkan, penerapan falsafah battle of annihilation dalam perkembangannya telah bertransformasi dari falsafah xingshi menjadi berbentuk li, yaitu sikap mencari posisi dominasi dengan mengandalkan kekuataan material. Hal ini terlihat khususnya dalam konteks Asia Pasifik yang ditandai antara lain dengan ketegangan terkait sengketa kewilayahan antara Tiongkok dengan India22, ketegangan di perairan Asia Timur,23 dan ketegangan yang melibatkan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan (LCS).24 Dalam hal ini, Indonesia perlu memberi perhatian khusus mengingat peningkatan ketegangan di kawasan, yang apabila tidak terkendali, akan membawa dampak yang sangat buruk bagi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.25 Dari perspektif hukum, pemerintah Indonesia memiliki mandat untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keaktifan Indonesia dalam dunia internasional kerap dikaitkan dengan tujuan bernegara keempat. Padahal, situasi geopolitik internasional sangat menentukan kemampuan negara Indonesia dalam mewujudkan tujuan pertama, kedua, ketiga, dan bahkan keempat. Sejarah menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia baru bisa diraih saat ada perubahan besar geopolitik di Asia Pasifik itupun ditebus dengan harga yang mahal. Perubahan situasi geopolitik kontemporer pun akan sangat mempengaruhi maju mundurnya bangsa Indonesia dan pada saat ini situasi perdamaian merupakan situasi yang bukan hanya penting bagi Indonesia namun juga negara-negara kawasan yang baru saja pulih dari pandemi global dan masih lesu akibat masih berlangsungnya konflik terbuka di Eropa dan Timur Tengah saat ini.

Posisi Indonesia sebagai Stabilisator Kawasan

Peran Indonesia sebagai penjaga stabilitas kawasan semenjak ikut aktif mendirikan ASEAN telah sedikit banyak mentransformasi Asia Tenggara menjadi kawasan yang damai dibandingkan 50 tahun lalu, di mana Perang di Vietnam masih berkecamuk yang berdampak hingga Laos dan Kamboja serta pembunuhan massal oleh Khmer Rouge terjadi di Kamboja. Semenjak awal kemerdekaan, Indonesia juga telah aktif menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menyelesaikan konflik tertutup maupun terbuka di dunia semenjak menjadi tuan rumah Asia Afrika. Keampuhan diplomasi kita bahkan berhasil membuat dunia melalui UNCLOS mengakui perluasan wilayah laut Indonesia tanpa meletusnya sebutir peluru pun.26 Di tengah persaingan great powers pasca-Perang Dingin, Indonesia pun senantiasa berjuang agar terjadi kestabilan tidak hanya di kawasan Asia Tenggara tapi dunia, karena kestabilan dunia sangat menentukan keberhasilan Indonesia mentransformasi negaranya menjadi lebih maju. Dalam kepresidenan G-20 tahun 2022 yang lalu Indonesia dengan gigih memperjuangkan agar konflik Ukraina dengan Rusia segera mereda bahkan pada tahun ini Indoensia aktif mencari solusi perdamaian bagi konflik terbaru di Timur Tengah.27 Dengan adanya kepentingan nasional yang menjadi pertaruhan serta mandat konstitusi untuk ikut menjaga ketertiban dunia, Indonesia perlu secara realitis menilai posisi dan situasi geopolitik terkini.

Falsafah kepemimpinan Tiongkok yang menekankan pada kesesuaian masyarakat terhadap tatanan alam semesta yang dikenal dengan istilah Dao sedikit banyak memiliki keserasian dengan konsep tatanan di Nusantara sebagaimana dijelaskan oleh ahli hukum Satjipto Rahardjo yang menggunakan Serat Sasangka Jati sebagai acuan.28 Dalam budaya Nusantara, tatanan pokok alam semesta dikenal dengan nama Suksma Kawekas, suatu istilah yang sarat pesan spiritual. Dalam pemahaman ini keserasian tatanan alam semesta tidak hanya bisa diraih dengan stabilitas dalam negeri tapi juga dengan tetangga bahkan alam.29

Namun, sebagaimana dipaparkan pada bagian terdahulu, pendekatan xingshi yang diterapkan Tiongkok, yang awalnya bersahabat dengan negara-negara tetangga, belakangan ini berubah menjadi sikap dominan yang berpotensi menghadirkan ketegangan dengan negara-negara tetangga itu. Apabila sikap dominan di atas diimbangi dengan pendekatan yang sama-sama didasarkan pada konsep li, kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, berpotensi untuk terpuruk dalam ketidakpastian dan ketegangan, yang bahkan dapat meningkat menjadi konflik. Lagi pula, penggunaan metode battle of annihilation oleh Tiongkok dalam memperjuangkan kepentingannya dikhawatirkan berpotensi menimbulkan reaksi, miskalkulasi, atau misinterpretasi dari pihak Barat.30 Dalam kondisi demikian Indonesia seharusnya mampu menggunakan keahlian diplomasinya serta segenap kekuatannya yang terbukti efektif dalam berbagai kesempatan untuk menjaga kestabilan kawasan dan global dengan tetap melindungi kepentingan nasionalnya.

Dengan demikian Indonesia saat ini perlu untuk melakukan beberapa hal. Pertama, Indonesia perlu melanjutkan usaha untuk memperkokoh sistem kenegaraan agar semakin solid sehingga negara dapat dengan cepat beradaptasi dengan perubahan geopolitik yang tercermin dari kebijakan dalam dan luar negeri. Kedua, penting bagi Indonesia untuk secara intensif melakukan pembicaraan dengan Tiongkok demi meyakinkan mereka bahwa tindakan asertif yang berlebihan akan membawa akibat yang mengkhianati falsafah seni berperangnya sendiri, yaitu memenangkan perang tanpa bertempur, yang tiada lain merupakan fondasi dasar keamanan dan kesejahteraan bangsanya. Dalam hal ini, fakta bahwa Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan aspek kesejarahan yang kental semestinya membuat suara Indonesia, apabila disampaikan dengan tepat, akan dipertimbangkan oleh pihak Tiongkok. Ketiga, secara terukur dan bertahap, penting pula bagi Indonesia untuk melakukan upaya diplomasi dengan Amerika Serikat dan sekutunya, terutama yang tergabung dalam AUKUS, guna menyampaikan bahwa negara-negara di kawasan, terutama Indonesia, perlu dilibatkan dalam dialog untuk menjaga perdamaian. Sikap yang secara sepihak membuat aliansi militer justru berpotensi memicu konflik yang lebih luas, yang hanya akan merugikan banyak pihak, yang sebenarnya membutuhkan perdamaian di Asia Pasifik.

Referensi


  1. Saul Bernard Cohen, Geopolitics: The Geography of International Relations Third Edition, (Lanham: Rowman&Littlefield, 2015), 333.
  2. William H. Mott IV dan Jae Chang Kim, The Philosophy of Chinese Military Culture: Shih vs Li, (New York: Palgrave Macmillan, 2006), xi.
  3. Derek M. C. Yuen, Deciphering Sun Tzu: How to Read ‘the Art of War’, (New York: Oxford University Press, 2014), 13-14 dan 77-78 dan Mott IV dan Kim, The Philosophy, 3.
  4. Sean McFate, The New Rule of War, (New York: HarperCollins Publishers, 2019), 15,16 dan 18 (e-book)
  5. Yuen, Deciphering, 118
  6. Mott IV dan Kim, The Philosophy, 18.
  7. Ibid, 11.
  8. Ibid, 19-20.
  9. Ibid, 12.
  10. Ibid, 217.
  11. “doctrine—to calmly observe, hold one’s ground, react firmly, act but keep a low profile “Pang Zhongying, From Tao Guang Yang Hui to Xin Xing: China’s Complex Foreign Policy Transformation and Southeast Asia, (Singapore: ISEAS Yusof Ishak Institute, Issue 7: 2020), 1.
  12. Zheng Bijian, “China’s ‘Peaceful Rise’ to Great-Power Status”, Foreign Affairs 84, no. 5 (September–October 2005): 22. The Brookings Institution published Zheng Bijian’s collection titled China’s Peaceful Rise: Speeches 1997–2004, https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2012/04/20050616bijianlunch.pdf dari dalam: Pang Zhongying, From Tao Guang Yang Hui to Xin Xing: China’s Complex Foreign Policy Transformation and Southeast Asia, (Singapore: ISEAS Yusof Ishak Institute, Issue 7: 2020), 8.
  13. Keith B. Richburg, “From Beijing 2008 to Beijing 2022: fourteen years and a world of difference,” https://www.aspistrategist.org.au/from-beijing-2008-to-beijing-2022-fourteen-years-and-a-world-of-difference/ (diakses pada 3 Februari 2022)
  14. “What Happened When China Joined the WTO? The United States thought it was directing the show when China acceded to the World Trade Organization. Instead, China wrote its own script.” https://world101.cfr.org/global-era-issues/trade/what-happened-when-china-joined-wto. (diakses pada 17 Juni 2021)
  15. Pang, From, 10. Tao GuangYang Hui tidak pernah secara resmi dicabut namun kebijakan-kebijakan baru menunjukkan perubahan yang nyata seperti ungkapan 新型大国: xin xing da guo atau new major country serta 新型国际关系: xin xing guo ji guan xi atau new international relations.
  16. Forum Staff, “AUKUS submarine deal promotes regional stability, counters Chinese influence.” https://ipdefenseforum.com/id/2023/03/kesepakatan-kapal-selam-aukus-mendorong-stabilitas-regional-dalam-melawan-pengaruh-tiongkok/ (diakses pada 27 Maret 2023)
  17. Larry Hanauer dan Lyle J. Morris, China in Africa: Implication of a Deepening Relationship, (Santa Monica, CA: RAND Corporation), 2014. https://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB9760.html. “China, Solomon Islands sign policing pact in upgrade ties,” https://www.reuters.com/world/asia-pacific/china-solomon-islands-agree-strategic-partnership-2023-07-10/ (diakses pada 11 Juli 2023)
  18. Amrita Jash, Saudi-Iran Deal: A Test Case of China’s Role as an International Mediator, https://gjia.georgetown.edu/2023/06/23/saudi-iran-deal-a-test-case-of-chinas-role-as-an-international-mediator/
  19. Robert D. Blackwill dan Jennifer M. Harris, War by Other Means: Geoeconomics and Statecraft, (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2016), 114. Zhongyuan Zoe Liu, Sovereign Funds: How the Communist Party of China Finances its Global Ambitions, (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2023), 221.
  20. Bernard Condon, “China’s loans pushing world’s poorest countries to brink of collapse.” https://apnews.com/article/china-debt-banking-loans-financial-developing-countries-collapse-8df6f9fac3e1e758d0e6d8d5dfbd3ed6 (diakses pada 19 Mei 2023). Simone McCarthy, “Developing Countries owe China at least $ 1.1 Trillion and the debts are due.” https://edition.cnn.com/2023/11/07/business/china-bri-developing-countries-overdue-debt-intl-hnk/index.html (diakses pada 13 November 2023)
  21. “Anticipating the Euro-American idea of deterrence, the Chinese notion of controlled punishment has included conspicuous destruction of an enemy as warnings to other foes—battles of annihilation. The art and science of using coercive force to persuade, instead of denial force to destroy, and defeating an enemy without fighting are the heart and soul of Shih-strategy.” Mott IV dan Kim, The Philosophy, 10.
  22. “Thin Ice in the Himalayas: Handling the India-China Border Dispute,” Asia Report No. 334, (Brussels: International Crisis Group, 14 November 2023), ii.
  23. Professor Purnendra Jain, “Japan-China Tensions Escalate,” https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/japan-china-tensions-escalate/ (diakses pada 18 Oktober 2023)
  24. Zaheena Rasheed, “How an impasse in the South China Sea drove the Philippines, US Closer.” https://www.aljazeera.com/news/2023/12/30/how-an-impasse-in-the-south-china-sea-drove-the-philippines-us-closer (diakses pada 30 Desember 2023).
  25. Yvette Tanamal, “ASEAN ‘unprepared’ for open conflict in Indo-Pacific,” https://www.thejakartapost.com/world/2023/03/11/asean-unprepared-for-open-conflict-in-indo-pacific.html (diakses pada 11 Maret 2023). Emre Basaran, “China-US battle over Taiwan would be ‘a war too many’ for world right now: Expert: Chinese, US Leaders realizes that any conflict over Taiwan would be final straw before World War III, academic tells Anadolu.”https://www.aa.com.tr/en/politics/china-us-battle-over-taiwan-would-be-a-war-too-many-for-world-right-now-expert/3066009 (diakses pada 27 Novermber 2023).
  26. John G. Butcher dan R.E. Elson, Sovereignty and the Sea: How Indonesia became an Archipelagic State, (Singapore: National University of Singapore Press, 2017).
  27. Sefti Oktarianisa, “Putin-Zelensky Batal Datang KTT G20 Bali, Apa Artinya ke RI,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20221114084409-4-387566/putin-zelensky-batal-datang-ktt-g20-bali-apa-artinya-ke-ri Ade Miranti Karunia, “Lemhannas Usulkan Rekomendasi Presidensi G20 ke Jokowi, ini rekomendasinya.” https://pemilu.kompas.com/read/2022/10/17/210000326/lemhanas-usulkan-rekomendasi-presidensi-g20-ke-jokowi-ini-rekomendasinya?page=all (diakses pada 17 Oktober 2022)
    Lemhannas mengajukan 4 isu Arus Utama yang Perlu dicermati G20 untuk mengatasi Krisis Global, https://www.tvonenews.com/berita/nasional/73867-lemhannas-mengajukan-4-isu-arus-utama-yang-perlu-dicermati-g20-untuk-mengatasi-krisis-globalApa Kabar Indonesia Siang, Kamis 30 Novermber 2023 , TvOne, “Nasib Palestina Usai Gencatan Senjata?” https://youtu.be/dyD3FQHKF4Q?feature=shared
  28. “Continuous change within Tao occurred in changeless patterns that revealed individual Tao to people who recognized them and directed their actions and thoughts toward, into, and within the patterns. The ruler’s Tao was ruling, inspiring, and indulgent benevolence. The people’s Tao was following, loyalty, and filial piety. If the ruler ruled through Tao, people would obey through Tao.” Mott IV dan Kim, The Philosophy, 17. Kris Wijoyo Soepandji, Pemahaman Kekuasaan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dalam Perspektif Serat Sasangka Jati (Depok: Badan Penerbit FHUI, Disertasi, 2022), 40-41.
  29. Ibid, 311-312
  30. Dalam diskusi di Forum Sinologi Indonesia, 14 Desember 2023 di Jakarta, Letjen (Purn) Agus Widjojo menyampaikan bahwa perang terbuka dapat terjadi apabila terdapat miskalkulasi dan misinterpretasi dari kekuatan global serta para aktor yang saling bersaing untuk mempertahankan kepentingannya.

Kris Wijoyo Soepandji adalah dosen tetap Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dan alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA LXIV) Lemhannas RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *