Nasionalisme Etnik Tionghoa dalam Pusaran Kebangkitan Cina

Nasionalisme Etnik Tionghoa dalam Pusaran Kebangkitan Cina

Dalam sebuah seminar virtual yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) pada 30 Maret 2022 yang lalu, seorang guru besar purnabakti dari salah satu universitas paling terkemuka di  negeri ini, mengemukakan bahwa salah satu tantangan  yang perlu diperhatikan oleh orang-orang Tionghoa yang berupaya meningkatkan semangat kebangsaan pada kalangan Tionghoa adalah meningkatnya kecenderungan Republik Rakyat Cina (berikutnya disebut sebagai Cina atau RRC) untuk merangkul orang Tionghoa di luar Cina untuk kepentingan negara tersebut.  Kecenderungan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru, meski kemunculannya kembali baru mulai berlangsung sekitar satu dasawarsa yang lalu. Sebelum kecenderungan di atas kembali muncul, selama kurang lebih tiga dasawarsa, Cina seolah melepaskan ikatannya dengan orang Tionghoa Indonesia, atau setidaknya menahan diri dari tindakan yang secara menyolok memperlihatkan ikatan tersebut. Lalu apa yang menyebabkan kecenderungan tersebut kembali muncul? Apa dampaknya bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia? Bagaimana sebaiknya orang Tionghoa bersikap? Tulisan singkat ini mencoba untuk mencari jawaban bagi pertanyaan – pertanyaan di atas.

Sumber Foto : nasional.tempo.co

Kecenderungan Cina untuk melakukan pendekatan terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga masa masa awal terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina. Sebagaimana ditulis oleh Rizal Sukma sekitar dua dasawarsa lalu, hubungan Indonesia – Cina pada periode tahun 1950 an diwarnai dengan kecurigaan di kalangan elit politik Indonesia – yang sebagian besar adalah para elit “pribumi” – terhadap agenda terselubung dari Kedutaan Besar Cina untuk mempengaruhi komunitas Tionghoa agar lebih mendekat kepada Beijing, dan bukannya malah mendekat pada pemerintahan nasionalis Cina di Taipei. Meski menimbulkan rasa tidak senang di kalangan elit politik Indonesia, upaya para diplomat Cina di atas sesungguhnya masih dapat dipahami mengingat dalam pandangan Cina pada masa itu, orang Tionghoa masih merupakan warga negara Cina. Hal ini merupakan akibat dari kebijakan Cina yang sejak berdirinya Republik Cina (Nasionalis) telah menganggap semua orang Tionghoa yang tinggal di luar Cina sebagai warganya, sebuah kebijakan yang menimbulkan ketidakjelasan status kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, yang juga mewarisi kewarganegaraan Indonesia dari sejak masa kolonial Belanda, sebagai konsekwensi dari pemberlakuan Undang – Undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910.

Sebagai akibat dari ketumpangtindihan status kewarganegaraan di atas, Tionghoa di Indonesia menghadapi sebuah permasalahan yang dikenal sebagai dwikewarganeraan. Permasalahan yang menimbulkan ganjalan bagi hubungan antara Indonesia dan Cina di atas mulai diselesaikan sejak kedua negara menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan pada tahun 1955. Perjanjian tersebut baru mulai dilaksanakan beberapa tahun kemudian, dan berdasarkan catatan Leo Suryadinata, tidak berlangsung dengan cepat sehingga, menurut beliau, pada awal tahun 1970 an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia. Proses naturalisasi tetap berlangsung di sepanjang masa pemerintahan Orde Baru, dan sebagai diungkapkan oleh Rizal Sukma, proses tersebut mengalami percepatan pada dasawarsa 1980 an, seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no 13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.

Namun Tionghoa yang telah menjadi warga negara, dan oleh karenanya juga telah menjadi bangsa Indonesia itu, harus mengalami sebuah proses asimilasi budaya yang dipaksakan melalui serangkaian kebijakan, yang mulai diperkenalkan oleh pemerintah Orde Baru pada sekitar tahun 1967. Berdasarkan kebijakan – kebijakan di atas, pers dan sekolah berbahasa Tionghoa tak lagi diperkenankan untuk hadir di Indonesia. Sedangkan bahasa Mandarin, yang merupakan bahasa Nasional Cina, tak dapat diajarkan dalam sebuah institusi pendidikan formal. Sebagai akibat dari proses di atas, muncullah generasi Tionghoa Indonesia yang, baik secara budaya maupun cara berpikir, lebih mencerminkan keindonesiaan ketimbang kecinaan. Generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir, atau setidaknya tumbuh dewasa, di zaman pemerintahan Orde Baru ini, tidak memiliki memori mengenai Cina sebagai ‘tanah leluhur.’ Bagi orang-orang Tionghoa yang berasal dari generasi ini, bahkan bagi sebagian dari mereka yang berasal dari generasi yang lebih tua, Indonesia adalah tanah air mereka. Sebagai diungkapkan oleh almarhum Eddy Lembong, seorang tokoh masyarakat Tionghoa yang memiliki kontribusi besar dalam membangun Perhimpunan INTI, mereka tidak lagi berpegang pada peribahasa “daun yang gugur akan kembali pada akarnya” (luoye guigen), tetapi pada peribahasa lain, yang menyatakan bahwa biji akan berakar bila ia berpijak pada tanah tempat ia berada (luoi shenggen). Bagi mereka, Indonesia lah tanah tempat mereka berpijak itu.

Pada sisi lain, meski kekuatan ekonomi Tionghoa Perantauan berpotensi membawa keuntungan, Cina nampaknya harus rela melepaskan ikatan dengan etnik Tionghoa di luar Cina, demi memperoleh penerimaan dari negara-negara tetangganya, khususnya negara-negara Asia Tenggara, di mana etnik Tionghoa hadir dalam jumlah cukup besar. Sebagai diungkapkan oleh Profesor Suryadinata dalam buku berjudul The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond, Beijing mengubah pendiriannya mengenai orang Tionghoa perantauan pada tahun 1955. Bila sebelumnya Cina menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955, Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Posisi Beijing tersebut digaungkan kembali sekitar tiga dasawarsa berikutnya, ketika Ketua Partai Komunis Cina saat itu, Hua Guofeng, kembali mendorong Tionghoa perantauan untuk menjadi warganegara dari negara tempat mereka tinggal, dan oleh karenanya tidak lagi menjadi warga negara Cina. Namun menurut Rizal Sukma, masih terdapat dua permasalahan yang pada saat itu menjadi sumber keresahan bagi elit politik Orde Baru di Indonesia. Yang pertama adalah pernyataan Beijing bahwa meski orang Tionghoa peranakan yang telah menjadi warganegara setempat tak lagi dianggap sebagai warga negara Cina, mereka “tetap merupakan keluarga dan teman kita.” Yang kedua adalah adanya himbauan dari Beijing kepada pemerintah negara  negara Asia Tenggara agar mereka “melindungi hak dan kepentingan sah dari Tionghoa Perantaua, serta menghormati tradisi bangsa, budaya, dan kebiasaan mereka.”

Perubahan yang cukup signifikan barulah terjadi sekembalinya pemimpin besar Cina, Deng Xiaoping, dari kunjungannya ke Asia Tenggara pada tahun 1978. Dua tahun setelah kunjungan tersebut, Beijing menerbitkan sebuah undang undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan Cina atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Masih menurut Rizal Sukma, meski penerbitan undang undang di atas belum meredakan kecurigaan elit pemerintah Indonesia terhadap kecenderungan Cina, Cina memperlihatkan kesungguhannya untuk tidak mencampuri hal-hal terkait Tionghoa Perantauan, setidaknya di Indonesia. Ini terbukti dari ketiadaan respons Cina terhadap program naturalisasi etnik Tionghoa di Indonesia pada dasawarsa 1980an, dan terhadap berbagai kerusuhan anti-Tionghoa yang juga terjadi pada kurun waktu tersebut. Bahkan belakangan, ketika terjadi kerusuhan Mei yang banyak menyasar orang Tionghoa di beberapa kota besar di Indonesia, Cina mengambil sikap yang dalam pandangan Suryadinata merupakan sikap non-intervensi. Sikap di atas, dikombinasikan dengan inisiatif Cina memberikan bantuan pada Indonesia yang tengah dilanda kritis ekonomi, menumbuhkan sikap positif di kalangan elit ‘pribumi’ terhadap Cina.

Namun akhir-akhir ini, Cina kini kembali menaruh minat pada urusan terkait Tionghoa Perantauan. Bahkan minat tersebut bukan hanya terbatas pada Tionghoa Perantauan yang masih memegang kewarganegaraan Cina – yang disebut dengan istilah Huaqiao –, tetapi juga pada orang Tionghoa yang sudah menjadi warga negara tempat mereka tinggal (disebut dengan istilah Huaren), di mana Tionghoa Indonesia termasuk di dalamnya. Menurut Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan Cina masa kini menganggap Tionghoa di luar Cina sebagai aset bagi negara mereka. Itulah sebabnya, dalam pidatonya di tahun 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa, di mana pun mereka berada, sebagai “putra dan putri bangsa Cina” (Zhonghua Ernu), saudara sebangsa dari seberang lautan (haiwai qiaobao), dan anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa (zhonghua dajiating). Sementara itu, khusus terhadap Tionghoa Indonesia, pemerintah Cina, melalui perwakilannya di Indonesia, seringkali menghimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan China, sebuah peran yang, menurut Charlotte Setijadi, dimaknai dengan penuh antusias, setidaknya oleh sebagian dari komunitas bisnis Tionghoa di Indonesia.

Kembalinya minat Cina untuk mendekati Tionghoa Perantauan, termasuk Tionghoa Indonesia, tentu membawa dampak tertentu bagi posisi Tionghoa dalam masyarakat Indonesia, mengingat di Indonesia, masih terdapat kelompok-kelompok yang belum berhasil melepaskan diri pada sikap curiga terhadap loyalitas kebangsaan Tionghoa. Bagi kalangan tersebut, upaya Cina mendekati Tionghoa demi kepentingan negaranya, bila tidak disikapi dengan hati hati, dapat dianggap sebagai pembenaran terhadap pandangan mereka yang sesungguhnya tidak tepat itu. Oleh karenanya, dalam upaya untuk melebur dan memperlihatkan rasa kebangsaan Indonesia, masyarakat Tionghoa perlu untuk tetap memperhatikan konteks di atas.  

Penulis adalah peneliti sekaligus Ketua dalam Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *