Kisah Para “Kartini” Berbaju Cheongsam : Dari Ny. Lie Tjan Tjoen Hingga Grace Natalie

Kisah Para “Kartini” Berbaju Cheongsam : Dari Ny. Lie Tjan Tjoen Hingga Grace Natalie

Meskipun Hari Kartini, yang perayaannya jatuh pada tanggal 21 April, ditetapkan berdasarkan hari lahir seorang Raden Ajeng Kartini, pahlawan kemajuan wanita asal Jepara yang hidup di penghujung abad ke 19, hari tersebut tak hanya dimaknai sebagai peringatan atas peran R.A Kartini semata. Lebih dari itu, Hari Kartini seringkali dimaknai sebagai momentum untuk mengenang dan mereflesikan kembali peran-peran perempuan Indonesia dalam ruang sejarah yang kerap terabaikan. Pada hari tersebut, selain kiprah Kartini, biasanya dikenang pula sosok-sosok pahlawan wanita yang berteberan di seantero negeri ini, dan berasal dari berbagai kelompok etnik yang membentuk bangsa Indonesia yang satu. Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Rohana Kudus, Lopian Nauli, dan Dewi Sartika adalah beberapa dari sederetan nama – nama wanita yang memiliki peran sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia.  

Tionghoa, salah satu dari ratusan kelompok etnik yang membentuk bangsa Indonesia, juga memiliki wanita – wanita yang patut dikenang karena jasa dan perannya dalam sejarah bangsa ini. Sama seperti peremupan dari pelbagai suku lainnya, perempuan Tionghoa juga menunjukan kiprah dalam melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kemanusiaan. Kehadiran perempuan Tionghoa dalam perjuangan bangsa pada berbagai aspek penting untuk dibicarakan pada hari Kartini ini, karena pengetahuan mengenai keberadaan mereka dapat menjadi insiprasi bagi perempuan-perempuan lain, baik Tionghoa maupun etnik mana pun, bahkan bagi seluruh Indonesia, tanpa memandang identitas etnik dan gender. Kehadiran mereka juga sekali lagi mengingatkan segenap bangsa Indonesia, bahwa Tionghoa bukanlah sekelompok etnik asing, eksklusif, dan apolitik.  Meski nenek moyang mereka bermigrasi dari daratan Tiongkok, para Tionghoa Indonesia bukan lagi bagian dari Tiongkok. Sebaliknya, mereka telah terserap dalam sejarah dan budaya setempat, serta turut terlibat dalam berbagai upaya untuk memajukan masyarakat di mana mereka tinggal, tumbuh, dan berkembang.

Perempuan Tionghoa Indonesia penentang kolonialisme

Pada era yang kurang lebih sama dengan masa hidup Kartini, terdapat sosok perempuan Tionghoa bernama Auw Tjoei Lan. Ia lebih dikenal dengan sebutan Ny. Lie Tjian Tjoen karena bersuamikan seorang  kapitan Tionghoa yang bernama Tuan Lie Tjian Tjoen. Sebagai istri seorang kapitan, Ny. Lie memiliki posisi sosial yang tinggi dan jaringan koneksi sampai pada kalangan elit. Pada tahun 1914, Ny. Lie bersama rekannya, dr. Zigman, pendeta D. Van Hindeloopen, dan Sutan Temanggung mendirikan yayasan Atie Soeci (Hati Suci). Yayasan Hati Suci ini dengan sengaja didirikan untuk menolong perempuan-perempuan korban perdangangan manusia yang didatangkan dari Tiongkok ke Hindia Belanda. Ny. Lie Tjian Tjoen merupakan sosok yang beberapa langkah lebih maju dari zamannya. Di saat gerakan perempuan belum bergema di Nusantara, Ny. Lie telah bergerak untuk memperjuangkan perempuan-perempuan[j1]  yang mengalami nasib kurang beruntung setelah mereka tiba Hindia Belanda. Saking fenomenalnya sosok dan karya sosial Ny. Lie ini, kiprahnya termahsyur sampai ke Belanda, bahkan terdengar hingga ke telinga Ratu Wilhemina. Sang ratu mengganjarnya dengan penghargaan bernama Ridder in de Orde van Oranje Nassau, yang merupakan sebuah penghargaan penghormatan yang bergengsi.

Bila Ny. Lie Tjan Tjoen berkarya lewat aktivisme sosial, ada dua sosok perempuan yang berjuang menentang kolonialisme di front terdepan. Srikandi-srikandi itu adalah The Sin Nio dan Ho Wan Moy. Kisah The Sin Nio bak serupa dengan sosok Mulan dalam hikayat dari negeri Tiongkok, karena The Sin Nio juga menyamar menjadi laki-laki bernama Mochamed Moeksin untuk ikut bergabung dengan pasukan angkatan bersenjata di Jakarta. The Sin Nio ikut angkat senjata memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan hingga Indonesia merdeka, The Sin Nio berjuang panjang untuk mendapatkan legitimasi sebagai veteran.  Tercatat bahwa pengakuan status Veteran The Sin Nio baru diberikan di tahun 1981 setelah diperjuangakan oleh The Sin Nio sejak tahun 1973. Sepanjang hidup The Sin Nio hidup dalam kegetiran dan kesendirian di pemukiman kumuh di tepi rel kereta Stasiun Juanda. Sosok perempuan Tionghoa yang juga turut serta dalam perjuangan kemerdekaan ialah Ho Wan Moy (Tika Nurwati). Ho Wan Moy menjadi anggota Laskar Wanita Indonesia dan Palang Merah Indonesia.

Perempuan Tionghoa Kontemporer

Di akhir era Orde Baru, sosok Ester Jusuf adalah pribadi yang patut dibahas karena kiprahnya dalam menentang diskriminasi rasial Orde Baru. Ester Jusuf berlatar belakang sebagai pengacara probono di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Dalam riset yang dilakukan dalam rangka studi doktoralnya, Susan Giblin (2003)[j2]  menjelaskan sepak terjang Ester Jusuf  sebagai seorang  politisi perempuan Tionghoa di parlemen. Ester Jusuf juga aktif mengkampanyekan pluralisme melalui organisasi Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Organisasi ini aktif menyelenggarakan diskusi-diskusi publik terkait isu diskriminasi dan isu HAM. Mereka juga melakukan advokasi ke pemerintah untuk mengganti sejumlah peraturan-peraturan hukum yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Selain Ester Jusuf, sosok Ita Martadinata, aktivis HAM yang menjadi saksi korban pemerkosaan pada peristiwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998, juga penting untuk dicatat.  Keberanian dan semangat Ita dalam menegakkan keadilan patut menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menegakkan kebangsaan Indonesia.

Akhirnya, dalam dasawarsa kedua abad ini, muncullah Grace Natalie, pendiri Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Grace Natalie adalah contoh terkini dari wanita-wanita Tionghoa yang gigih berpartisipasi bagi mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Ia menjadi salah satu contoh sosok representasi perempuan Tionghoa dalam politik kontemporer di tengah menguatnya sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa Indonesia pasca kasus Ahok di 2016 silam

Mengenang dan mencatat sejarah  dan kiprah perempuan Tionghoa sebagai diceritakan di atas membuat ingatan kita menjadi utuh tentang sejarah bangsa kita sebagai bangsa yang multikultural, di mana orang-orang Tionghoa Indonesia, khususnya perempuan, juga telah ambil bagian di dalamnya. Apalagi para srikandi Tionghoa di atas bukan hanya hadir di masa lalu. Mereka juga hadir di masa kini, dan sangat aktif dalam perjuangan bagi Indonesia yang lebih demokratis di era pasca Orde Baru ini.. Tak keliru lagi, Grace Natalie, Ester Jusuf, dan sosok sosok wanita Tionghoa lain, adalah Kartini Kartini Indonesia, yang berlatar belakang etnik Tionghoa. Selamat Hari Kartini!

Penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *