Strategi Kuasa Lunak China Harus Ditanggapi dengan Kritis

Strategi Kuasa Lunak China Harus Ditanggapi dengan Kritis

Seorang pria di Teheran memegang surat kabar lokal yang melaporkan kesepakatan yang ditengahi China antara Iran dan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan pada 11 Maret 2023. Sumber : Atta Kenare | Afp | Getty Image
Seorang pria di Teheran memegang surat kabar lokal yang melaporkan kesepakatan yang ditengahi China antara Iran dan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan pada 11 Maret 2023. Sumber : Atta Kenare | Afp | Getty Image

Dilansir dari keterangan pers yang dimuat dalam sejumlah media, antara lain Wartaekonomi.co.id, Republika.co.id, Jpnn.com, Suara.com, Kompas.com, Detik.com, Kabar24.bisnis.com, Tribunnews.com, dan Viva.co.id, Profesor Abdullah Dahana, guru besar emeritus bidang sejarah Universitas Indonesia, pendiri sekaligus penasihat Forum Sinologi Indonesia, mengingatkan Indonesia untuk selalu berhati-hati, mewaspadai, dan bersikap kritis terhadap strategi kuasa lunak (soft power) yang selama ini dijalankan China di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini ditujukan kepada pemerintah dan warga Indonesia untuk tidak menerima begitu saja pengaruh dari China. 

“Bangsa Indonesia harus tetap kritis dalam memandang China. Boleh memuji dan menghargai kesuksesan yang dicapai pemerintahan China dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar. Akan tetapi, kritiklah hal-hal yang menurut kita tidak cocok, khususnya dengan kebijakan atau aturan dalam pergaulan antarbangsa,” tegasnya.

Profesor Dahana menganggap aksi China  ini sebagai sebuah rencana untuk menjelma menjadi sebuah kekuatan imperialisme budaya. Kekuatan pengaruh ini diperkuat dan disebarluaskan ke berbagai negara termasuk Indonesia melalui strategi kuasa lunaknya. Salah satu strategi kuasa lunak yang dimaksud adalah melalui pemberian beasiswa untuk belajar di China.

Di sisi lain, China juga melancarkan strategi kuasa keras (hard power) ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Salah satunya melalui berbagai pelanggaran yang dilakukan China terhadap kedaulatan Indonesia di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, terutama di perairan dekat Kepulauan Natuna.

Pendapat yang sama disampaikan oleh Dr. R. Tuty N Mutia, pengajar senior pada Program Studi Cina, Universitas Indonesia. Tuty menyampaikan bahwa sudah sejak lama strategi kuasa lunak ini dijalankan melalui berbagai cara ke Indonesia. Dari berbagai cara itu, menurut Tuty, strategi kuasa lunak yang konsisten dijalankan adalah upaya untuk mempengaruhi pihak lain melalui sumber daya budaya, politik, dan kebijakan luar negeri. 

Strategi kuasa lunak ini sudah dimulai sejak tahun 2007 dan dirancang oleh pemimpin China saat itu, Hu Jintao, yang mendorong China untuk meningkatkan daya saing budaya China di dunia. Salah satu contoh dari strategi ini adalah pendirian Confucius Institute (di Indonesia lembaga ini dinamakan Pusat Bahasa Mandarin (PBM)). Namun, strategi ini kurang berhasil bahkan lembaga ini ditutup di beberapa universitas di Amerika Serikat karena dianggap mencurigakan. 

Salah satu strategi yang dianggap berhasil di Indonesia adalah pemberian beasiswa untuk para santri di Indonesia. Keberhasilannya terlihat dari adanya sebagian alumni China yang menyuarakan keunggulan negara itu akhir-akhir ini. Walau demikian, citra negara tersebut masih dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat Indonesia, menurut survei yang diadakan pada tahun 2017.

Lembaga PBM tetap berjalan meskipun hanya dimanfaatkan oleh para siswa penerima beasiswa untuk penguasaan bahasa demi menunjang studi atau karirnya di China. Namun demikian, Tuty tetap mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia tetap harus mengawasi persebaran dan aktivitas lembaga tersebut. 

Tuty juga menyampaikan kritik terkait etnis Tionghoa yang diharapkan dapat menjadi jembatan dalam hubungan negara China dan Indonesia. Namun, harapan ini tidak selalu dianggap positif oleh etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan narasi yang diusung China cenderung mengedepankan keunggulan sehingga terlihat seperti upaya untuk ‘sinifikasi’ (pencinaan).

Johanes Herlijanto, Ph.D., Ketua Forum Sinologi Indonesia dan pemerhati etnis Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, menyetujui kritikan Dr. Tuty dengan menambahkan bahwa adanya upaya Republik Rakyat China (RRC) untuk merangkul komunitas ini. Upaya ini dijawab dengan penolakan dari sebagian komunitas Tionghoa karena mereka lebih memilih dan mendukung narasi yang mengedepankan keindonesiaan masyarakat Tionghoa.

“Anak-anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau ‘Chindo’,” tambahnya.