Ketegangan di Laut China Selatan, Ketahanan Regional ASEAN, dan Peran Indonesia

Ketegangan di Laut China Selatan, Ketahanan Regional ASEAN, dan Peran Indonesia

Sebuah kapal (kanan) Penjaga Laut Vietnam terlihat di dekat kapal Penjaga Pantai Tiongkok, sekitar 210 km (130 mil) lepas pantai Vietnam, 14 Mei 2014. Sumber: REUTERS/NGUYEN MINH/FILE PHOTO
Sebuah kapal (kanan) Penjaga Laut Vietnam terlihat di dekat kapal Penjaga Pantai Tiongkok, sekitar 210 km (130 mil) lepas pantai Vietnam, 14 Mei 2014. Sumber: REUTERS/NGUYEN MINH/FILE PHOTO

Ringkasan Utama:
• Dari semua negara yang bersengketa di Laut China Selatan (LCS), China-lah yang tampak bertindak paling provokatif, terutama dalam taktik gelar kapal-kapal aparatnya. Tindakan provokatif China ini makin jelas dalam ketegangan dengan Filipina seputar Dangkalan Thomas Kedua (Second Thomas Shoal) baru-baru ini.
• Tindakan provokasi China di LCS membuka ruang bagi negara-negara di luar kawasan, termasuk negara-negara adidaya, untuk turut terlibat menghadapi China, dan oleh karenanya upaya ASEAN meredam ketegangan di kawasan di atas dapat terkesan terlangkahi.
• Kegagalan ASEAN untuk bersatu dalam menghadapi tindakan provokatif China bisa menggerus ketahanan regional ASEAN dalam membangun kemandirian dari dukungan keamanan negara-negara luar kawasan.
• Guna menghadapi tindakan provokasi China, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan Aturan Tata Perilaku (Code of Conduct) antara ASEAN dan China. Indonesia perlu juga memprakarsai patroli terkoordinasi (patkor) maritim baru dengan negara-negara ASEAN lain yang berkepentingan di LCS.

Pendahuluan

Dalam menanggapi sengketa Laut China Selatan (LCS), Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) senantiasa menyerukan seluruh pihak yang bersengketa untuk menahan diri dari tindakan provokatif yang bisa meningkatkan ketegangan. Penyelesaian dan pengelolaan sengketa harus berlandaskan jalan damai dan mengacu pada hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982. Namun demikian, masing-masing negara ASEAN berbeda pandangan di tingkat nasional terkait jalan damai tersebut. Perbedaan ini dapat memicu perpecahan dan melemahkan ASEAN. Ironisnya, kekhawatiran ASEAN atas perpecahan di dalam justru membuka peluang bagi China untuk bertindak provokatif sehingga memicu ketegangan di LCS. Peluang ini tampaknya dimanfaatkan Beijing dalam ketegangan yang sedang berlangsung dengan Filipina di Dangkalan Thomas Kedua (Second Thomas Shoal). Jelas, Indonesia perlu mencari terobosan baru bila sikap ASEAN masih terkesan lunak terhadap provokasi China. Bila terus berlarut, negara-negara luar kawasan Asia Tenggara, seperti Amerika Serikat (AS), akan semakin ‘melangkahi’ upaya ASEAN dalam meredam ketegangan di LCS. Secara perlahan namun pasti, sikap negara-negara luar kawasan ini bisa memudarkan ketahanan regional ASEAN. 

Ketegangan China dan Filipina

Lain halnya dengan Indonesia, yang secara konsisten menganggap diri tidak terlibat dalam sengketa di LCS, Filipina merupakan salah satu negara ASEAN yang bersengketa di perairan itu, di samping Brunei, Malaysia, dan Vietnam. Filipina tidak hanya bersengketa dengan China, tetapi juga dengan Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Sengketa ini beberapa kali telah memicu ketegangan akibat tindakan provokatif aparat masing-masing pihak. Meski ketegangan kerap kali muncul di antara semua negara yang bersengketa, sejak peristiwa Dangkalan Scarborough tahun 2012, ketegangan Filipina dan China makin meningkat.

Kini, Manila harus lebih waspada untuk menjaga kedudukannya dalam sengketa itu. Pada akhir September 2023, aparat China memasang tali pembatas di sekitar Dangkalan Scarborough, meski kemudian diputus oleh Penjaga Laut Filipina (PCG). Di waktu yang hampir bersamaan, Beijing terus menghambat upaya Filipina dalam melindungi dan membekali ulang kapal perangnya, BRP Sierra Madre, yang dikandaskan di Dangkalan Thomas Kedua sejak 1999 sebagai pos penjagaan militer berawak. Lambat laun, kapal perang tersebut akan runtuh akibat termakan usia, karat, dan aus, sehingga mengancam kedudukan Filipina dari penguasaan China di laut sekelilingnya. Mau tidak mau, Filipina harus memperkeras struktur rangka Sierra Madre. Bagi China, pengerasan ini termasuk tindakan provokatif. Padahal, Beijing sendiri telah membangun dan memperkeras pangkalan aju di Karang Mischief (Mischief Reef) yang ia caplok dari Filipina pada 1995.

Ketegangan China—Filipina belakangan ini sedikit banyak terkait dengan upaya Manila mengajak Washington untuk ikut campur dalam sengketa LCS demi memberi daya gentar terhadap tindak provokatif Beijing. Beijing memandang kehadiran AS ini justru memperkeruh suasana sehingga sering menuduh Manila sebagai ‘antek’ Washington. Memang, Manila telah memperkuat aliansi dengan AS melalui Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Tingkat Lanjut (EDCA) pada 2014. Sejak itu, AS mendapat akses pangkalan militer lebih luas di wilayah Filipina untuk tujuan patroli, perlindungan terhadap Filipina, dan persiapan konflik dengan China. Manila juga memperluas jejaring kemitraan keamanan maritim dengan Australia dan Jepang sehingga ketiga negara di atas bisa saja secara serentak atau bergantian membantu melindungi kepentingan dan kedudukan Filipina saat ini di LCS.

Menarik untuk diperhatikan bahwa secara tegas Presiden AS Joe Biden menyatakan bahwa aliansi Manila—Washington atau Traktat Pertahanan Bersama (MDA) yang berlaku sejak 1951 tidak hanya mencakup wilayah Filipina, namun juga unsur pesawat dan kapal aparat Manila, baik sipil maupun militer, dari kemungkinan serangan China. Artinya, meski Washington tidak memihak kepada Filipina soal sengketa wilayah, ia tetap melindungi hak dan kemampuan Filipina untuk mempertahankan kedudukannya dalam sengketa itu. Sebagai konsekuensi, bila kapal aparat Filipina rusak atau tenggelam akibat tindakan provokatif kapal China, Manila dapat meminta perlindungan AS dan sekutunya.

Perkembangan di atas memperlihatkan bahwa segala daya upaya ASEAN untuk meredam ketegangan di LCS masih belum berhasil. Memang, pada tahun 2002, ASEAN dan China telah menyetujui Pernyataan Perilaku Bersama di LCS (Declaration of Conduct, DOC) dengan semangat untuk sama-sama menghindari dan mencegah tindakan provokatif yang bisa memicu ketegangan. Namun dua puluh tahun kemudian, kenyataannya malah makin jauh dari semangat DOC. Sebaliknya, tiap pihak memperkeras sikap dan menguatkan posisi masing-masing melalui tindakan provokatif kapal aparat yang berujung pada ketegangan di laut, seperti di sekitar Dangkalan Thomas Kedua. Sebagai negara adidaya, kekuatan China lebih unggul dari negara-negara ASEAN dalam tindakan provokatif, seperti patroli jarak dekat yang beresiko terjadinya tabrakan antara kapal aparat China dan Filipina. Tiap kemungkinan tabrakan ini beresiko memakan korban jiwa, baik luka-luka maupun kematian, atau bahkan memicu eskalasi konflik.

Perpecahan dan Pelemahan ASEAN

Pelibatan negara-negara adidaya yang berkepentingan dalam sengketa LCS tampaknya juga terkait erat dengan dengan belum berhasilnya upaya ASEAN dalam meredam ketegangan di kawasan tersebut. Sebagai salah satu negara pendiri dan anggota ASEAN, Filipina berharap ASEAN dapat membantu langkah diplomasinya menghadapi tindakan provokatif China. Namun sayangnya, terdapat tiga kesulitan yang dihadapi ASEAN dalam memenuhi harapan Filipina tersebut. Pertama, ASEAN bukanlah sebuah ikatan aliansi layaknya MDA ataupun Organisasi Traktat Asia Tenggara (SEATO) di mana Filipina pernah menjadi anggotanya. Memang, ketiadaan ikatan aliansi tidak serta-merta membuat ASEAN kehilangan daya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Apalagi, di kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik secara umum, ASEAN menjadi satu-satunya forum dialog yang bisa diterima semua pihak, termasuk bagi AS dan China. ASEAN sebenarnya bisa menjadi sarana Filipina untuk mendesak China lewat meja diplomasi. Bila pandangan negara-negara ASEAN sejalan dan seirama, mereka mampu mengeluarkan pernyataan kritis yang merusak citra internasional Beijing. Akan tetapi, pandangan yang ‘seirama’ ini sulit muncul karena kecenderungan ASEAN untuk mengambil keputusan secara musyawarah untuk mufakat atau konsensus.

Kecenderungan di atas dapat dikatakan sebagai kesulitan kedua yang dihadapi ASEAN. Proses musyawarah ASEAN untuk menurunkan ketegangan akibat sengketa LCS semakin sulit mencapai kesepakatan bulat di antara negara-negara anggotanya. Sebabnya, saat ini negara-negara ASEAN memiliki hubungan yang erat dengan salah satu atau sebagian dari negara-negara adidaya yang berkepentingan dalam penyelesaian sengketa LCS. Apalagi, China kini telah menjadi mitra dagang dan salah satu negara investor terbesar ASEAN. Dengan ikatan dagang dan investasi yang makin erat ini, sulit bagi ASEAN sebagai sebuah kelompok untuk mendesak Beijing agar menahan diri. Sebaliknya, sebagian negara ASEAN malah terkesan ‘mencari muka’ di hadapan Beijing demi meraup keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, mereka mendahulukan kepentingan nasional yang kerap kali berbeda atau bahkan berlawanan dengan harapan Filipina akan reaksi keras ASEAN terhadap China.

Sementara itu, fakta bahwa sengketa LCS juga melibatkan sesama negara anggota ASEAN menjadi hal ketiga yang menyulitkan ASEAN untuk mendukung Filipina menghadapi China. Selain China, Vietnam dan Malaysia juga bersengketa dengan Filipina. Oleh karenanya, sulit bagi Filipina untuk memajukan kedudukannya terhadap China dalam sengketa tanpa sekaligus mengganggu kedudukan Vietnam dan/atau Malaysia juga. Misalnya, penempatan rambu-rambu navigasi laut oleh PCG atas beberapa wilayah dangkalan pada Mei 2023 menuai kritikan Vietnam yang mengaku wilayah tersebut sebagai miliknya. Adanya konflik kepentingan di atas menimbulkan kesulitan bagi negara-negara ASEAN lain yang bersengketa untuk merapatkan apalagi menyatukan barisan ketika menghadapi China, meski niat dan percobaan upaya ini sudah ada.

Contoh lain adalah kegagalan ASEAN untuk menyepakati dan menyerukan keabsahan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) tanggal 12 Juli 2016 tentang Kepulauan Spratly yang menguntungkan Filipina daripada China. Sejumlah negara ASEAN bersikap acuh tak acuh atas penolakan dan kecaman China terhadap putusan tersebut. Negara-negara ini tidak hanya mengkhawatirkan dampak dagang dan investasi mereka dengan Beijing, tapi juga kepentingan nasional masing-masing. Misalnya, bagi Kamboja yang belum meratifikasi UNCLOS, keputusan PCA bisa merugikan kedudukannya dalam sengketa dengan Thailand dan Vietnam di Teluk Thailand.

Perpecahan inilah yang China manfaatkan untuk mengungguli upaya ASEAN bersama dalam mengelola ketegangan di LCS. Dalam tindakan provokatifnya, Beijing tampak memilih-milih pihak sasaran di ASEAN. China paham betul bahwa tindakan provokatif yang serentak bisa menyatukan reaksi ASEAN, setidaknya antarnegara anggota yang bersengketa. Oleh karena itu, China berupaya menekan negara ASEAN satu per satu dan bahkan menghasut satu sama lain melalui taktik diplomasi dan ekonomi. Misalnya, China diduga menghasut Filipina tentang upaya Vietnam memiliterisasi wilayah dangkalan yang Manila sengketakan, dan begitu pula sebaliknya. Perpecahan dalam ASEAN akan makin mengucilkan Filipina dan mendesaknya lebih bergantung pada AS dan mitra sejenisnya.  

Pengaruh bagi Ketahanan Regional

Perpecahan dalam ASEAN sebagaimana disinggung di atas bisa berujung pada pelemahan ASEAN sendiri. Pembentukan ASEAN pada 1967 memiliki semangat ketahanan regional yang bertumpu pada kemandirian masing-masing anggota dari ketergantungan pada negara luar kawasan. Oleh karenanya, pelibatan negara-negara luar kawasan sebenarnya kurang sejalan dengan semangat pembentukan ASEAN di atas.  

Akan tetapi, langkah Filipina yang saat ini seolah mengandalkan bantuan dari pihak luar kawasan harus dipandang sebagai sebuah strategi yang muncul dalam bentuk keterpaksaan, dan bukan keinginan awalnya. Terbukti saat pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, Filipina berupaya memainkan politik luar negeri yang lebih mandiri, bahkan sangat kritis, terhadap AS dan dunia Barat secara umum. Akan tetapi, itikad Duterte ini tetap gagal menuai simpati Beijing dan mengurangi tindakan provokatif di laut. Pada Maret 2021, China malah mengerahkan kapal-kapal nelayannya sebagai milisi laut untuk menduduki dan menguasai Karang Whitsun (Whitsun Reef) yang Filipina akui sebagai miliknya. Peristiwa ini justru terjadi ketika Presiden Duterte sedang memperbaiki hubungan Manila dengan Beijing.

Di sisi lain, Filipina juga kurang yakin dengan upaya diplomasi ASEAN dalam mengelola sengketa LCS. Dengan masing-masing negara anggota ASEAN lebih mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan regional, maka perpecahan di dalam menjadi keniscayaan. Dengan kata lain, semakin kuat ‘nasionalisme’ individualis negara-negara ASEAN, maka solidaritas ‘regionalisme’ mereka terancam melemah. Padahal, Filipina menganggap sengketanya dengan China bukan sekedar perkara kepentingan nasional, tetapi juga punya imbas ketahanan regional. Manila berharap tindakan provokatif China ditanggapi dengan kecaman oleh negara-negara ASEAN lainnya. Sebab bila tidak, akan justru memicu negara-negara luar kawasan seperti AS untuk mengambil tindakan sendiri. Bila hal ini terjadi, bukan tidak mungkin ASEAN masuk ke tengah pusaran persaingan yang makin sengit antarnegara adidaya berikut sekutunya di tataran global.

Peran dan Upaya Indonesia

Sebagai negara yang tidak bersengketa di LCS, Indonesia harus bisa menyikapi persoalan ini melalui kacamata kepentingan regional. Artinya, kepentingan Indonesia di LCS tidak hanya sebatas Kepulauan Natuna dan laut sekelilingnya, terutama batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang Beijing sengketakan. Lebih dari itu, upaya Filipina dalam menghadapi tindakan provokatif China harus jadi pertimbangan utama Indonesia di tingkat ASEAN untuk mengelola sengketa dan meredam ketegangan yang ada.

Salah satu upaya Indonesia dalam ASEAN berupa perumusan Aturan Tata Perilaku di Laut China Selatan (COC) guna memperkuat pelaksanaan DOC. Setelah berunding selama lebih dari sepuluh tahun, COC pun masih belum terwujud meskipun naskah-naskah pendukungnya sudah muncul, seperti kerangka kerja dan pedoman percepatan perundingan COC itu sendiri. Muncul kesan bahwa naskah-naskah pendukung ini hanyalah taktik pengalih perhatian atau bahkan pengelabuan yang sengaja dilakukan China. Dari semua negara yang bersengketa, Beijing memang jadi pihak yang paling diuntungkan dari penundaan dan ketiadaan COC. Semakin lama dan berlarut perundingan COC, semakin banyak waktu bagi China untuk menguasai wilayah laut yang disengketakan, seperti dengan Filipina di Dangkalan Thomas Kedua. Jelas, Indonesia tidak bisa mengandalkan COC sebagai satu-satunya mekanisme ASEAN dalam mengelola sengketa LCS.

Upaya lain yang bisa Indonesia lakukan adalah memprakarsai patroli terkoordinasi (patkor) laut dan udara antarnegara ASEAN yang berkepentingan dalam sengketa LCS. Berbeda dari patroli bersama (patma), jangkauan patkor hanya terbatas di wilayah laut dan udara masing-masing negara. Indonesia bisa mencoba patkor ini di sebagian atau sepanjang batas ZEE dengan Vietnam yang baru mereka sepakati pada Desember 2022. Patkor ini bisa melandasi kedua negara untuk bersama-sama membuat daya gentar terhadap tindakan provokatif China. Patkor semacam ini juga jadi contoh negara-negara ASEAN lain, seperti Filipina dan Vietnam, untuk bekerja sama di wilayah sengketa asal memenuhi dua syarat penting. Pertama, mereka sepakat tidak akan mengubah keadaan yang sudah ada (status quo) dari sisi pendudukan atau penguasaan atas dangkalan dan wilayah, meski bisa saja melanjutkan pengerasannya (fortifikasi). Kedua, mereka sepakat bahwa tindakan China adalah yang paling provokatif di antara semua negara yang bersengketa. Sasaran utamanya bukan China sendiri, melainkan tindakan provokatif China dalam mengelola sengketa itu.

Bila Indonesia berhasil meyakinkan sejumlah negara ASEAN lain, pelaksanaan dan perluasan patkor semacam ini bisa jadi salah satu taktik untuk mendesak Beijing agar menerima rumusan COC yang selaras dengan kepentingan dan harapan negara-negara ASEAN yang bersengketa. Ketahanan regional akan menguat hanya ketika negara-negara ASEAN lebih mementingkan hubungan sesama mereka daripada hubungan dengan negara-negara luar kawasan, khususnya adidaya, yang bisa memecah belah ASEAN. Setidaknya, penguatan ketahanan regional ini bisa dimulai dari kerja sama antarnegara ASEAN yang berkepentingan dalam sengketa LCS.

Ristian Atriandi Supriyanto adalah dosen Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, dan peneliti mitra (research fellow) Forum Sinologi Indonesia. 

Tim Editor:

Penasihat: A. Dahana

Pelaksana:

Johanes Herlijanto

Muhammad Farid

Ignatius Edhi Kharitas