Global Security Initiative China Perlu Disikapi Secara Waspada dan Hati-hati

Global Security Initiative China Perlu Disikapi Secara Waspada dan Hati-hati

Dilansir dari keterangan pers yang dimuat oleh beberapa media, antara lain Wartaekonomi.co.id, Republika.co.id, Jpnn.com, Suara.com, Kompas.com, Viva.co.id, Kabar24.bisnis.com, dan Tribunnews.com, ketua Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto, Ph.D., menyampaikan bahwa Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya perlu mewaspadai dan berhati-hati dalam menyikapi Proyek Global Security Initiative (GSI, Inisiatif Keamanan Global) yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping.

Sofwan Al Bana, Ph.D, seorang pakar Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, memaparkan bahwa GSI sendiri merupakan proyek keamanan global gagasan China. Gagasan tersebut dilandaskan oleh beberapa prinsip utama, yaitu: (1) memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan; (2) setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (3) Memperhatikan dengan serius masalah keamanan yang sah dari semua negara; (4) menyelesaikan perbedaan dan sengketa antarnegara dengan damai melalui dialog dan konsultasi; serta (5) berkomitmen untuk menjaga keamanan dari ancaman tradisional maupun nontradisional.

Menurutnya, GSI adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema yang telah berlangsung sejak 2010. China yang dulu menyembunyikan “kuku dan taringnya,” kini mulai menunjukkannya karena saat ini China merasa sudah kuat. “Kuku dan taring” tersebut ditujukan bukan untuk menakuti negara di sekitarnya, melainkan untuk mencegah terjadinya perang. Di samping itu, China ingin menyampaikan kepada kekuatan status quo, Amerika Serikat, bahwa kebangkitannya tak terhentikan.

“Bukan keinginan untuk menghabisi kekuatan status quo, melainkan permintaan agar China memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” tambah Sofwan.

Johanes menambahkan pula bahwa GSI juga menekankan penolakan China pada “mentalitas perang dingin,” unilateralisme, konfrontasi antarblok, dan hegemoni. Namun, prinsip-prinsip tersebut menuai kritikan dan dianggap sekedar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional China, menurutnya.

Salah satu kritikan berkutat pada kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan perilaku nyata negara China. Kontradiksi tersebut merujuk pada berbagai insiden kapal-kapal penjaga pantai dan kapal nelayan China yang melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara tetangganya, seperti Filipina dan Vietnam, dalam satu dasawarsa terakhir.

“Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa yang terjadi di Laut China Selatan (LCS). Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tidak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna,” tambah Johannes.

Tingkah laku China ini menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara Asia Tenggara menjadi waspada dan lebih berhati-hati terhadap GSI. Johanes menyebutkan sebuah tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, terkait dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI. Dalam tulisan tersebut ditunjukan bahwa minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI dalam sebuah survey yang dilakukan kepada 1308 responden. 

“Dari 1308 responden yang turut serta dalam survey yang dilakukan Hoang Thi Ha dan para koleganya, hanya 27,4% merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia Tenggara, sementara 44,5% responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali,” jelasnya, “dan 19% responden meyakini bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi Indonesia.”

Melalui hasil survei tersebut, Johannes beranggapan bahwa GSI perlu disikapi dengan kewaspadaan dan mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang terkesan berhati-hati dalam menanggapi inisiatif China tersebut. Berhati-hati dengan tetap siap bekerja sama secara prinsip dengan China dalam hal GSI sambal menunggu pihak China mengartikulasikan dan mengelaborasi inisiatif yang belum terlalu detail dijelaskan. Ditambah dengan kesibukan China membangun kehadiran militer di perairan LCS, menjalankan operasi “gray zone” di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara, membuat pengelompokan yang menyerupai blok aliansi, akan membuat retorika GSI dengan prinsip indahnya tetap tinggal sebagai retorika yang sulit untuk dipercayai oleh negara-negara lain.