Reformasi Hubungan Tiongkok–Vatikan, Mungkinkah?

Beberapa waktu berselang, kantor berita Tiongkok Xinhua, memberitakan tentang pertemuan pejabat senior Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Wang Yang, dengan jajaran pimpinan baru Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok dan Konferensi Uskup Katolik Tiongkok pada 23 Agustus 2022 di Beijing. Wang adalah anggota Politbiro Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang juga menjabat sebagai ketua National Committee of the Chinese People’s Political Consultative Conference. Dalam sambutannya, Wang menyerukan agar komunitas Katolik sepenuhnya mengimplementasikan kebijakan dasar PKT mengenai agama, serta berkontribusi dalam kebangkitan negara Tiongkok.

Politik Kewargaan dan Etnis Tionghoa Pasca-Reformasi 1998

Pada tulisan berjudul “Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998” penulis menyampaikan pandangan bahwa sterotipe dan prasangka-prasangka terhadap etnis Tionghoa adalah persoalan yang upaya penanganannya masih belum selesai. Belum tuntasnya persoalan terkait prasangka dan stigma ini penting untuk dicermati karena selain berpotensi menjadi sumber konflik laten dan prasangka, hal tersebut juga merupakan sumber hambatan bagi etnis Tionghoa untuk menjadi inklusif. Penyelesaian persoalan ini pun membutuhkan keterlibatan utuh dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja dari sisi etnis Tionghoa itu sendiri. Dalam pandangan penulis, salah satu cara penyelesaiannya adalah dengan menempatkan persoalan stereotipe, pelabelan, ataupun prasangka-prasangka ini sebagai persoalan kewargaan. Yang penulis maksudkan sebagai persoalan kewargaan tidak hanya terbatas pada masalah-masalah administratif  kependudukan atau persoalan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Persoalan kewargaaan juga mencakup pengucilan, stereotipe, dan prasangka, yang berpotensi menghambat etnis Tionghoa untuk mendapatkan penerimaan secara penuh dan utuh sebagai bagian dari warga negara.

Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998

Sebagai sebuah kelompok etnis minoritas di Indonesia, etnis Tionghoa telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi sejak zaman kolonial hingga Indonesia berada di era Orde Baru. Pada masa yang belakangan itu, etnis Tionghoa didorong untuk memusatkan perhatian mereka pada aktivitas perdagangan semata. Konsentrasi pada dunia bisnis pada gilirannya melanggengkan pelbagai stereotipe yang pernah ada tentang komunitas ini. Mereka dianggap sebagai pekerja keras dan tekun. Namun pada sisi lain, mereka dicap sebagai “manusia ekonomi” yang hanya berorientasi pada uang, karir, bisnis, dan toko. Di samping itu, mereka juga dianggap pelit, rakus, dan cenderung hidup ekslusif.

Koran Bahasa Mandarin di Era Reformasi: Antara Renaisans dan Euforia

Sumber Foto : https://tirto.id/

Dalam dua dasawarsa terakhir ini, publik Indonesia sudah tak asing lagi dengan media berbahasa Mandarin. Bila sepanjang periode pemerintahan Orde Baru hanya terdapat sebuah media cetak berbahasa Mandarin (itu pun berada di bawah pengawasan intelijen negara),  sejak Indonesia memasuki era Reformasi, media cetak dan elektronik berbahasa Mandarin menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat Indonesia. Media berbahasa Mandarin itu mulai muncul dan berkembang sejak Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan itu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sebagai hasilnya, sejak saat itu, tidak ada lagi pembatasan ekspresi keagamaan maupun kebudayaan komunitas Tionghoa di tempat umum, termasuk penerbitan dan penyiaran media berbahasa Mandarin.

Tionghoa dan Pembangunan Bangsa di Era Reformasi

Lebih dari satu dasawarsa  yang lampau, saat mengerjakan kerja lapangan di Surabaya, penulis berkesempatan menghadiri sebuah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang diselenggarakan oleh orang-orang Tionghoa di Kota Pahlawan itu. Acara tersebut dimeriahkan oleh paduan suara para wanita Tionghoa, yang dengan berkebaya, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dengan merdu dan lantang. Beberapa bulan kemudian, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) […]