Politik Kewargaan dan Etnis Tionghoa Pasca-Reformasi 1998

Pada tulisan berjudul “Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998” penulis menyampaikan pandangan bahwa sterotipe dan prasangka-prasangka terhadap etnis Tionghoa adalah persoalan yang upaya penanganannya masih belum selesai. Belum tuntasnya persoalan terkait prasangka dan stigma ini penting untuk dicermati karena selain berpotensi menjadi sumber konflik laten dan prasangka, hal tersebut juga merupakan sumber hambatan bagi etnis Tionghoa untuk menjadi inklusif. Penyelesaian persoalan ini pun membutuhkan keterlibatan utuh dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja dari sisi etnis Tionghoa itu sendiri. Dalam pandangan penulis, salah satu cara penyelesaiannya adalah dengan menempatkan persoalan stereotipe, pelabelan, ataupun prasangka-prasangka ini sebagai persoalan kewargaan. Yang penulis maksudkan sebagai persoalan kewargaan tidak hanya terbatas pada masalah-masalah administratif  kependudukan atau persoalan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Persoalan kewargaaan juga mencakup pengucilan, stereotipe, dan prasangka, yang berpotensi menghambat etnis Tionghoa untuk mendapatkan penerimaan secara penuh dan utuh sebagai bagian dari warga negara.

Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998

Sebagai sebuah kelompok etnis minoritas di Indonesia, etnis Tionghoa telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi sejak zaman kolonial hingga Indonesia berada di era Orde Baru. Pada masa yang belakangan itu, etnis Tionghoa didorong untuk memusatkan perhatian mereka pada aktivitas perdagangan semata. Konsentrasi pada dunia bisnis pada gilirannya melanggengkan pelbagai stereotipe yang pernah ada tentang komunitas ini. Mereka dianggap sebagai pekerja keras dan tekun. Namun pada sisi lain, mereka dicap sebagai “manusia ekonomi” yang hanya berorientasi pada uang, karir, bisnis, dan toko. Di samping itu, mereka juga dianggap pelit, rakus, dan cenderung hidup ekslusif.

Refleksi Kerusuhan Mei 1998 dalam Karya Sastra Indonesia

Kerusuhan Mei 1998, yang terjadi di Jakarta dan kota lain di Indonesia, merupakan salah satu memori kelam dalam sejarah kontemporer Indonesia. Jejak kepedihan ini masih terus terekam dalam memori sosial masyarakat Indonesia, khususnya dalam komunitas Tionghoa.