Seminar Hybrid: “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia”

Seminar Hybrid: “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia”

Pada Senin, 5 Agustus 2024 lalu, Forum Sinologi Indonesia (FSI) bersama dengan Paramadina Public Policy Institute, mengadakan seminar bertajuk “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia.” Kali ini, FSI mengundang Ratih Kabinawa, Ph.D., adjunct research fellow di University of Western Australia, Broto Wardoyo, Ph.D., dosen senior di Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, serta Muhamad Iksan, S.E., M.M., dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Paramadina, dan peneliti senior Paramadina Public Policy Institute. 

Diskusi dibuka oleh Ratih Kabinawa, Ph.D. dengan pembahasan mengenai variasi dalam kebijakan one-china policy di Asia Tenggara. Ia berpendapat bahwa one-china policy adalah wilayah abu-abu, di mana kebijakan ini dikembalikan lagi kepada penafsiran masing-masing negara. Dikutip dari Ian Chong, ia menjelaskan bahwa terdapat berbagai level ambiguitas dalam kebijakan one-china policy di masing-masing negara ASEAN. Posisi Indonesia sendiri “acknowledge” klaim China terkait Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Rakyat China (RRC), namun tidak sampai pada level “recognize”. Oleh karena itu, hubungan Indonesia dengan Taiwan itu dapat dilakukan, mulai dari hubungan ekonomi, budaya, people-to-people, melalui penandatangan nota kesepahaman (MoU), serta kehadiran de facto kantor misi perdagangan dan ekonomi Taiwan di Indonesia. 

Menanggapi krisis Selat Taiwan, terdapat perubahan pandangan yang dapat diamati dalam konteks ASEAN. Pada krisis Selat Taiwan Pertama di tahun 1995–96, ASEAN tak memberikan pernyataan apapun dan melihat ketegangan China–Taiwan irelevan dengan ASEAN. Begitu juga dengan Indonesia yang melihat reunifikasi merupakan masalah China dan Taiwan sendiri. Namun, ASEAN, termasuk Indonesia, menunjukkan perubahan sikap pada krisis Selat Taiwan terakhir di tahun 2022, ketika Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei. Kini, Taiwan tidak lagi ditempatkan sebagai pemicu masalah, mempertimbangkan posisi presiden Taiwan yang juga mengedepankan dialog dan memilih status quo sebagai opsi utama. Perbandingan sikap ini juga terlihat dari kemunculan mentalitas Perang Dingin (Cold War mentality) dalam pernyataan bersama ataupun pernyataan masing-masing negara di ASEAN. 

Kini, kehadiran 700 ribu warga ASEAN yang menetap di Taiwan menghadirkan indikasi kepentingan besar ASEAN terkait isu di Selat Taiwan. Jikalau perang pecah, repatriasi hingga kondisi mata pencaharian dari 700 ribu orang ini menjadi dampak yang perlu dipertimbangkan. Bagi Indonesia, kepentingan di Selat Taiwan juga khususnya terkait dengan insiden penangkapan kapal ikan Taiwan yang sering kali melibatkan pekerja migran Indonesia, seperti yang terjadi baru-baru ini, di mana 3 dari 5 nelayan kapal Taiwan merupakan WNI dan telah ditahan di Guangzhou, China. Kondisi ini menjadi bukti nyata dampak geopolitik yang sudah merambah isu people-to-people, terutama dalam isu pekerja migran. Hal ini mencerminkan strategi hostage diplomacy yang sedang dilancarkan oleh China.

Ratih menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan ASEAN menanggapi kondisi di Selat Taiwan, antara lain: 1. Pembentukan ASEAN track two-dialogue dengan China, Taiwan, AS secara terpisah sebagai awal dari upaya membangun confidence building; 2. Penekanan larangan penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan isu ini; 3. Penguatan kapasitas ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre); 4. Mempersiapkan ASEAN contingency plan.

Diskusi kemudian dilanjutkan oleh pemaparan oleh Broto Wardoyo, Ph.D. yang melihat bahwa one-china principle itu multi-tafsir, baik dari sisi tafsir Beijing maupun dari sisi Taipei. Bahkan, secara domestik di Taiwan, antara Partai Progresif Demokratik (DPP) dan Kuomintang (KMT) dapat berbeda penafsiran. Broto mengingatkan bahwa kebijakan tersebut ini bukanlah kesepakatan formal. Jadi, jika terdapat interpretasi berbeda dari negara-negara lain, hal itu merupakan hal yang lumrah.

Tantangan utama bagi Indonesia dalam menanggapi isu Selat Taiwan adalah kebijakan luar negeri Indonesia yang harus dititikberatkan pada perlindungan warga negara Indonesia (WNI). Kini, ia melihat tugas yang terpenting ada pada mekanisme pengawasan WNI yang dapat dilakukan Kementerian Luar Negeri, hingga update akan ketegangan di Selat Taiwan yang perlu sampai pada level pengambil kebijakan. Melihat perilaku China yang semakin asertif dalam isu Selat Taiwan, Indonesia juga punya kepentingan dalam mempertimbangkan interpretasi China akan batasan/lampu merah (red line) yang semakin ke sini semakin sulit untuk dinegosiasikan. Terlepas dari kacamata keamanan, jika dilihat dari sisi ekonomi, sulit untuk memisahkan dua entitas ekonomi, yaitu China dan Taiwan, dalam dua kutub berbeda, mengingat keduanya sudah memiliki integrasi ekonomi yang sangat kuat dan dekat.

Ia berpendapat bahwa terdapat tugas pemerintah Indonesia untuk memberikan atensi lebih besar dalam perlindungan WNI, mengingat ada 300 ribu WNI yang tersebar dari bagian utara hingga selatan Taiwan. Jika Indonesia tidak secara serius melakukan pengawasan dan kajian, agak sulit bagi Indonesia untuk melakukan pengukuran. 

Bagian akhir diskusi dibawakan oleh Muhamad Iksan, S.E., M.M. Ia berpendapat bahwa terdapat motif ekonomi di balik tindakan China yang ingin menaklukkan Taiwan, khususnya berkaitan dengan industri semikonduktor dan ekosistem didalamnya. Hal ini mempertimbangkan industri semikonduktor Taiwan yang menguasai hingga 70% kapasitas produksi global dari produk chip komputer di dunia. Jika membahas Selat Taiwan, perlu juga bagi kita membahas persaingan antara China dan AS sebagai great power. Ikhsan menjelaskan terdapat isu anekdotal yang berkembang di Taiwan, di mana ada kekhawatiran masyarakat Taiwan akan kejadian AS yang “lari” dari Afghanistan akan terulang kembali pada mereka. 

Ikhsan berpendapat penting adanya kesadaran bagi pemangku kebijakan di Indonesia akan one-china policy, kondisi Selat Taiwan, dan konstelasi di dalamnya. Selain itu, Ikhsan memiliki pandangan realis terkait hal ini, di mana dengan semakin menyadari Indonesia adalah negara middle-power, semakin banyak opsi juga yang dapat Indonesia pilih menanggapi isu ini.

Akhir kata, Johanes Herlijanto, Ketua FSI, menyatakan bahwa, baik ASEAN maupun Indonesia secara individu, harus lebih kencang lagi bersuara terkait isu Selat Taiwan agar dapat diselesaikan secara damai dan menolak opsi apapun yang melibatkan kekerasan.