Pada Kamis, 25 Juli 2024 lalu, Forum Sinologi Indonesia (FSI) bersama dengan Paramadina Public Policy Institute, mengadakan seminar bertajuk “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives.” FSI mengundang Commodore Jay Tristan Tarriela, Ph.D., Juru Bicara Philippine Coast Guard (PCG) untuk Laut Filipina Barat dan Staf Khusus Komandan Laut Filipina Barat, Laksamana Pertama Eka Satari, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia, serta Dr. Mohammad Riza Widyarsa, dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
Diskusi dibuka oleh Coast Guard Commodore Jay Tristan Tarriela, Ph.D. yang membahas pendekatan Filipina dalam isu Laut China Selatan (LCS). Di bawah kepemimpinan Presiden Aquino, pendekatan Filipina berfokus pada pendekatan hukum dengan menentang klaim China yang mengabaikan putusan arbitrase internasional. Sementera itu, di bawah kepemimpinan presiden Duterte, Filipina menerapkan pendekatan diplomatik yang bertujuan untuk membina hubungan bilateral antara keduanya, salah satunya melalui peace agreements. Di bawah kepemimpinan presiden Filipina yang kini menjabat, Ferdinand Marcos, Jr. alias Bongbong Marcos, pendekatan Filipina adalah melalui transparency initiative, yaitu dengan mengungkap tindakan agresif China. Marcos mengambil inisiatif ini dengan mempertimbangkan strategi dari dua pendekatan sebelumnya yang masih menunjukkan beberapa keterbatasan. Strategi ini telah dikoordinasikan melalui lembaga penegak hukum, patroli pemantauan media, dan masyarakat Filipina secara keseluruhan.
Berdasarkan inisiatif transparansi tersebut, Filipina telah mengambil berbagai tindakan, antara lain publikasi video tindakan ilegal China untuk meningkatkan kesadaran global. Publikasi ini telah menarik perhatian dunia internasional untuk memihak Filipina. Hasilnya, kini semakin banyak negara yang menghubungi Filipina untuk mengadakan kerja sama pertahanan. Selain itu, Filipina juga secara aktif meningkatkan kesadaran masyarakat dan membekali mereka dengan informasi yang valid dan transparan. Sebelumnya, masyarakat Filipina terpecah belah karena adanya keterbatasan informasi, di mana banyak dari mereka yang menganggap China adalah sahabat.
Terlepas dari usaha yang telah Filipina lakukan, Tarriela menyayangkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara masih diam dalam menanggapi agresivitas China di LCS. Ia menyoroti alasan bahwa adanya kepentingan nasional negara-negara Asia Tenggara yang sebagian besar tertuju pada kepentingan ekonomi, dan China mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam hal ini. Ia menyarankan kawasan Asia Tenggara harus bersatu dan tidak boleh berdiam diri hanya karena mengkhawatirkan hubungan ekonomi dengan China. Penting bagi kawasan untuk juga mengekspos tindakan agresif China, karena tindakan agresif tersebut sama dengan apa yang dihadapi oleh Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Jika negara-negara Asia Tenggara tidak mengambil tindakan, China akan sangat mungkin untuk semakin berani menindas negara-negara kecil. Ia menyarankan pendekatan kolaboratif (collaborative approach) terhadap insiden LCS kini harus diubah menjadi upaya kolektif (collective effort) antara negara-negara di ASEAN.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Laksamana Pertama Eka Satari yang diawali dengan pembahasan isu-isu keamanan maritim yang seringkali dihadapi Indonesia. Beberapa isu ini meliputi penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), hingga kejahatan lintas batas yang berbahaya. Ia menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi kawasan Asia Tenggara untuk menangani isu-isu keamanan ini, mulai dari masalah penegakan hukum dan tindakan pencegahan, sengketa maritim, hingga interaksi yang asertif. Untuk menangani hal ini, ia menyarankan berbagai strategi yang membutuhkan kerja sama antarnegara di kawasan Asia Tenggara, mulai dari pengembangan analisis strategi, aksi preventif bersama, serta diplomasi dan membangun kepercayaan satu sama lain.
Salah satu kerja sama yang sudah dilaksanakan secara multilateral yaitu ASEAN Coast Guard Forum. Laksamana Pertama Satari menyoroti bahwa tak ada satu negara pun yang mampu menangani isu maritim seorang diri, dan forum ini merupakan bukti kerja sama antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Melalui kerjasama dan kolaborasi, diharapkan ASEAN Coast Guard Forum mampu menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara dari ketidakpastian yang terjadi. Ia merekomendasikan bahwa perlu adanya dialog dalam membangun kepercayaan satu sama lain, keterlibatan yang konstruktif, serta saling memberikan manfaat nyata antara institusi coast guard di kawasan.
Selama diskusi, Laksamana Pertama Satari juga menjelaskan pentingnya peran otoritas penegakan maritim, yaitu dalam konteks ini adalah Indonesian Coast Guard, yang merupakan bagian dari pertahanan terdepan dalam melakukan defense atau respons pertama jika terjadi pelanggaran kedaulatan di laut. Melihat strategisnya posisi ini, ia menambahkan bahwa pemerintah dapat meningkatkan kapabilitas dan kapasitas Bakamla sebagai penindak awal apabila ada ancaman di laut.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Dr. Mohammad Riza Widyarsa. Ia menyebutkan beberapa metode untuk menghalau tindakan agresif China di LCS, yaitu kerja sama dengan negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia dan Filipina, khususnya antara otoritas penegak hukum maritim. Ia menyebutkan ada beberapa inisiatif dan kerja sama yang sudah dijalankan dalam kawasan, yaitu Southeast Asia Maritime Law Initiative hingga ASEAN Coast Guard Forum. Ia berpendapat bahwa mengandalkan Amerika Serikat (AS) tidak cukup untuk menghalangi agresivitas China di LCS, mempertimbangkan adanya hambatan sumber daya, dan jarak yang terbatas. Ia merekomendasikan aliansi regional sebagai opsi yang efektif dalam menghadapi tindakan China di LCS bagi negara-negara di Asia Tenggara.
Akhir kata, Johanes Herlijanto, Ph.D., Ketua Forum Sinologi Indonesia, berpendapat bahwa strategi yang dilakukan Filipina dalam menanggapi tindakan agresif China dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa. Dia mencatat bahwa sikap agresif China terlihat melalui taktik yang dikenal sebagai strategi “grey zone” terhadap negara-negara yang memiliki hak berdaulat di perairan yang diklaim China sebagai miliknya. Nyatanya, klaim nine dash line China yang hanya didasarkan pada klaim sejarah, bertentangan dengan hukum maritim internasional yaitu UNCLOS, yang telah diratifikasi oleh China sendiri.