Dilansir dari berita yang dimuat sejumlah media, antara lain detik.com, sindonews.com, kompas.com, indonesia.focustaiwan.tw, cna.com, jpnn.com, Ratih Kabinawa, adjunct research fellow di University of Western Australia, mengungkapkan bahwa ketegangan antara China dan Taiwan di Selat Taiwan akan berdampak cukup serius bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Ratih menyebut kasus penangkapan perahu nelayan Taiwan oleh Penjaga Pantai China jadi salah satu contoh nyata bahwa ketegangan antara China dan Taiwan merupakan sebuah hal yang patut dicermati oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.
Pada awal Juli 2024 lalu, tiga warga negara Indonesia (WNI), yang merupakan anak buah kapal nelayan Taiwan, telah ditangkap dan sempat ditahan di Guangzhou, China. Hal ini membuat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia harus berkomunikasi dengan pihak China, Taiwan, dan Konsulat Jenderal Indonesia di Guangzhou untuk menjamin keselamatan tiga WNI tersebut.
Di satu sisi, memanasnya situasi di Selat Taiwan akan membuka pintu bagi kompetisi superpower, yang tentunya akan berdampak pada tataran tertentu di kawasan Asia Tenggara. Ratih berpendapat bila konflik di wilayah Selat Taiwan meletus, sangat mungkin terjadi kubu-kubu di ASEAN.
Menurut Ratih, keterbelahan ini akan membawa dampak buruk bagi tekad ASEAN untuk mengedepankan “sentralitas ASEAN.” Sedangkan pada sisi ekonomi, Ratih menekankan pentingnya pemerintah negara-negara ASEAN memikirkan apa yang akan mereka lakukan terhadap 700.000 warga ASEAN yang saat ini bekerja atau belajar di Taiwan.
Itulah sebabnya, Ratih menganggap sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah lebih lanjut demi memastikan stabilitas di kawasan Selat Taiwan. Pertama, menggalakkan dialog track kedua (track two), yang bukan hanya melibatkan pejabat pemerintahan, melainkan juga akademisi dan komunitas, secara terpisah antara China, Taiwan, dan Amerika Serikat (AS). Kedua, Ratih menekankan pentingnya negara-negara ASEAN terus menyerukan larangan penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan permasalahan di Selat Taiwan. Ketiga, Ratih menyebut harus ada rencana cadangan (contingency plan) terpadu dari pemerintah negara-negara ASEAN untuk warga negaranya di Taiwan bila terjadi konflik bersenjata.
Sependapat dengan Ratih, Broto Wardoyo, Ph.D., dosen senior di Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus up-to-date dalam memahami situasi terkini terkait ketegangan antara China dan Taiwan. Menurutnya, pemahaman ini dibutuhkan agar pemerintah bisa cepat tanggap dalam mengamankan sekitar 300 ribu WNI di Taiwan. Menurut Broto, kemampuan pemerintah Indonesia untuk cepat tanggap ini penting untuk ditingkatkan, mengingat China sekarang sudah semakin asertif, baik di Selat Taiwan maupun Laut China Selatan (LCS). Ia berpendapat, semakin sulit memahami kapan China memberikan lampu hijau, lampu kuning, atau lampu merah.
Dengan demikian, menurutnya, China memang telah menjadi ancaman yang makin nyata di kawasan. Akan tetapi, ia juga menggarisbawahi bahwa sikap China sedikit banyak juga terkait dengan respons negara adidaya lain, yaitu Amerika Serikat (AS).
Selanjutnya, Muhamad Iksan, S.E., M.M., dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Paramadina, dan peneliti senior Paramadina Public Policy Institute, menekankan pentingnya melihat dampak ekonomi dalam isu ketegangan China dan Taiwan. Ia berpendapat bahwa sangat mungkin salah satu motivasi China untuk menaklukan Taiwan adalah demi menguasai industri semikonduktor dan ekosistem di dalamnya.
Ia berpendapat bahwa tidak mudah bagi Indonesia sebagai negara middle power untuk bersikap terang-terangan dan berpihak dalam isu ini, apapun pilihannya. Ia mengambil contoh, kedatangan Menteri Investasi Republik Indonesia ke Taipei yang dikritik oleh Beijing beberapa waktu lalu, padahal investasi Taiwan cukup potensial bagi Indonesia. Menurut Iksan, ini membuktikan kalau Indonesia tidak bisa gegabah dan harus bisa memahami konstelasi lintas Selat.
Akhir kata, Johanes Herlijanto, Ketua FSI, berpandangan bahwa setiap negara ASEAN, baik sebagai satu organisasi ASEAN ataupun secara individu, harus konsisten menyuarakan penolakan penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan isu antara China dan Taiwan.
la memuji pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tentang perkembangan Selat Taiwan pada Agustus 2022, yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri secara maksimal dan menahan diri dari tindakan provokatif. Ia melihat seruan-seruan yang menentang penggunaan kekerasan militer dalam mengatasi persoalan ini perlu untuk terus suarakan secara lebih keras dan konsisten.
Sumber:
- https://indonesia.focustaiwan.tw/politics/202408055005
- https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/08/05/hedging-indonesia-dan-asean-untuk-jaga-kestabilan-selat-taiwan
- https://www.jpnn.com/news/akademisi-imbau-asean-harus-tegas-menghadapi-ketegangan-china-taiwan
- https://edukasi.sindonews.com/read/1429825/211/kalangan-akademisi-himbau-asean-ambil-langkah-penting-hadapi-ketegangan-china-dan-taiwan-1722863335
- https://www.suara.com/bisnis/2024/08/05/185515/asean-dihimbau-tingkatkan-langkah-menentukan-hadapi-ketegangan-china-taiwan
- https://news.detik.com/berita/d-7475676/asean-diminta-suarakan-tolak-penggunaan-militer-dalam-konflik-china-taiwan
- https://www.cna.com.tw/news/aopl/202408050314.aspx